kafe Roaster and Bear (2)

6 2 0
                                    

Suara rintikan hujan perlahan mulai memudar, membuat alunan jazz klasik dari radio kafe menjadi terdengar jelas. Jalanan basah yang baru saja melengang perlahan kembali dipenuhi mobil dan motor yang bersiap mengantar pemiliknya pulang. orang-orang yang berteduh sambil menikmati kopi mereka telah bersiap kembali melanjutkan aktifitasnya.

"Yah, seengganya dia menepati perkataanya," Dirandra menyeringai puas, menyandarkan punggungnya pada kursi kayu seraya menyilangkan tangannya. mengabaikan cappuccino di depannya tak tersentuh.

Pras kembali meyeruput cappuccino nya, menghela nafas tanpa memberi komentar.

Di masing-masing layar ponsel mereka—pesan dari Naya. Ia telah mengirimkan detail dimana mereka akan melakukan pemetaan gua.

Erik menatap layar ponselnya lekat sebelum menengok ke ketiga temannya "yakin gua Jomblang?" tanyanya melihat wajah temannya satu persatu.

Ketiga temannya mengiyakan, memberikan Erik tampang tak keberatan. Namun, bagi Erik. Ia masih perlu banyak pertimbangan.

"Lumayan deket nih. Jadi kapan berangkat?" tanya alaya "kalo bisa secepatnya."

"Bebas," ucap dirandra sambil mengaduk cappuccino nya yang hampir dingin.

"Aku fleksibel," sahut Pras mengisap habis cappuccino nya tanpa sisa.

"Aku juga fleksibel," ucap alaya, "kamu gimana?" Tanya Alaya sambil menatap Erik

Erik menghindari tatapan Alaya, melihat ke arah jalanan namun tak kemanapun. menggaruk samping kepalanya yang tak gatal dengan telunjuknya. Pikirannya teralih teringat tentang pekerjaanya. Haruskah ia tinggalkan? Atau izin cuti?

"Aku ada kerjaan jadi—aku bakal kabari kalo udah ada kepastian," ucapnya ragu

"Bilang Kalo butuh bantuan, ga perlu sungkan." Kata Pras

Alaya mengangguk setuju, "kita bakal bantu sebisanya,"

Erik tertegun sejenak, "oke oke, thanks."

Kemudian, mereka berbincang tentang perlatan apa saja yang akan dibawa. Makanan dan segala tetek bengeknya.

Tak ada lagi suara rintikan hujan, deru mesin kendaraan yang berlalu lalang, ataupun suara mesin kopi yang bekerja. Kafe yang tadinya terdengar sayup percakapan dan suara dapur yang sibuk kini hanya tersisa suara alunan jazz klasik.

Pukul sembilan malam. Alaya melihat jam tangannya, menyadari waktunya pulang. ia tahu mungkin tak ada yang menunggunya di balik pintu atau memarahinya karena pulang larut. Hanya saja, memang tak ada lagi yang perlu dibahas. Ia lelah dan merindukan berendam di bak panas miliknya.

"Udah maleman, aku pulang dulu." Alaya bangkit dari kursi, dengan ringan menaruh tas putihnya di bahu.

"Pulang sendiri?" Tanya Pras

Alaya mengangguk. "Ha'ah,"

"Emang ada taksi?" Dirandra mendongak, masih mengaduk cappuccino nya yang sudah lama dingin.

Alaya terdiam, tak cukup lama hingga Erik sempat menawarkan dirinya. "Sama aku aja, aku kebetulan bawa motor,"

"Boleh," Alaya tersenyum tipis.

Mereka berdua kemudian meninggalkan kafe dengan bunyi dentingan lonceng pintu kafe yang menutup. 

"Balik?" tawar Pras menengok Dirandra dengan cappuccino nya yang tak tersentuh

"Kuy," Dirandra beranjak menelan cappuccino nya dalam satu tegukan,

Para pegawai bergegas berkemas mengakhiri shift mereka lima menit setelah pelanggan terakhir mereka pergi. Mematikan seluruh alat elektronik, Menyisakan lampu neon putih bertuliskan 'Roaster and Bear' yang berkedip.

Jalanan tak terasa lengang bahkan ketika malam melarut. Selalu ramai seperti biasanya, seolah kota itu tak pernah tidur. Turis asing sesekali dapat terlihat berjalan di pinggiran trotoar, dengan mudahnya akan mendapat perhatian dari pejalan kaki lain. bis-bis pariwisata juga tak mau kalah ambil bagian meramaikan jalanan, tak dapat dihindari. memang musim liburan tempat ini dapat dipastikan ramai pelancong.

Motor sport Pras menembus kerumunan jalanan padat dengan lincah, Satu-satunya yang membuatnya terhambat hanyalah lampu merah. Pandangannya terfokus pada lampu lalu lintas hingga ia merasakan hantaman di kepalanya yang berlapis helm.

"Ndra?" Pras menengok ke belakang, menemukan Dirandra yang terkantuk.

"Hmm?" Dirandra menyahut dengan mata yang terlihat berat. Tubuhnya tampak dapat terjatuh kapanpun.

"Sialan, malah tidur. Ndra!" Pras menggoyangkan motornya berusaha membangunkan Dirandra.

Tiiin!!

Suara klakson mobil dibelakang mereka memprotes agar mereka segera berjalan. Memaksa Pras segera melajukan motornya mengikuti arahan lampu lalu lintas. Sejenak kemudian ia memelankan motornya ke sisi jalan dan berhenti di trotoar.

"Ndra, bangun!" Ia menepuk pipi Dirandra pelan.

"Mmm" Dirandra menggumam dan menjatuhkan dirinya diatas punggung pras.

Pras tahu sebenarnya sia-sia saja membangunkannya. Tak peduli apa yang ia lakukan, Dirandra takkan terbangun. Pras menghela nafas, terdiam sejenak melihat sekelilingnya. Jarang orang berlalu lalang, sepertinya ia berada di kawasan sepi. Jalanan itu terlihat redup dengan satu lampu yang terpasang, ditambah pepohonan rindang membuat tempat itu menjadi sedikit lebih mencekam. Tak kehabisan akal, Pras melepaskan ikat pinggangnya. Membelitkannya pada tubuh mereka berdua. Ini cukup, setidaknya ia takkan jatuh

Pras kembali memacu motornya, menembus jalanan malam yang kian sepi menuju daerah kos.

. . .

"Thanks ya," ucap Alaya sesaat ia turun dari motor Erik.

"Gapapa santai, aku yang nawarin kok," ujar Erik kikuk.

Erik berdiam menunggu hingga Alaya terlepas dari pandangannya dan masuk ke dalam rumah. Sebuah rumah mewah yang berada diluar jangkauan Erik. Cukup jauh hingga ia mempertanyakan kelayakannya. Erik mengedarkan pandangannya, menemukan bahwa rumah-rumah lain memiliki bentuk serupa. Namun tak bisa dibandingkan dengan rumah dimana ia memarkirkan motornya.

Dengan segera ia berbalik dan keluar dari kawasan perumahan. Ia merasa penuh, dengan begitu banyak hal mengisi kepalanya.

Ia memutar knop pintu di rumahnya sekarang—rumah brahm. Ketika melewati ruang tamu, Ia berjalan sepelan mungkin untuk tak membangunkan Brahm yang biasanya tertidur di depan televisi.

"Dari mana saja kau?" Tanya Brahm tak berpaling dari televisi, suara beratnya menggema di ruangan. Erik tak perlu melihat wajah brahm untuk tahu apakah ia Marah.

"Maaf," Erik menghentikan langkahnya, tak yakin apa yang harus di ucapkannya. "Aku tadi mel—"

Brahm menyergah "Nak, kini kau tinggal di rumahku,rumahku aturanku," ia berbalik dan menatap Erik tajam "Apapun alasannya tak ada yang berada di luar rumah setelah jam sepuluh. Kau mengerti?"

"Aku mengerti," jawab Erik cepat.

"Bagus, kemarilah," Brahm bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur. Erik mengikuti di belakangnya.

Brahm membuka tudung saji diatas meja. "Makanlah, aku yakin kau belum makan" ucapnya dengan wajah yang melembut

Erik menatap nasi goreng di meja yang sudah dingin, ia duduk tanpa mengatakan apapun.

"Jangan lupa cuci piringnya," Brahm, menepuk kepala Erik dan meninggalkannya sendiri di dapur.

Bagi orang lain mungkin nasi goreng itu hanya akan menjadi sampah atau makanan ternak. Namun tidak bagi Erik. Malam itu, adalah nasi goreng terenak dalam hidupnya. Nasi yang keras dan dingin itu lebih hangat dan lembut dari apapun yang pernah diterimanya. Membuat air matanya mengalir dengan mudah tanpa peringatan.
Di ruangan redup ia terisak sendirian. Bukan karena putus asa karena cinta atau bagaimana sulitnya ia mencari pundi-pundi rupiah. Bukan karena kenyataan bahwa ia tak pernah tahu siapa orang tuanya atau bagaimana dunia begitu tak adil untuknya. Tapi, adalah kenyataan bahwa ia memiliki seseorang yang akan selalu mengharapkannya pulang bahkan ketika dunia menganggapnya tiada.

...

The Walkers (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang