Kafe Roaster and Bear

6 1 0
                                    

"Ah, asem banget!" Pekik Riska begitu menyeruput es jeruk di hadapannya.

"Sori, tau sendiri aku gabisa masak" alaya nyengir sambil menyeruput es jeruk buatannya, menemukan bahwa Riska tak salah.

"Inimah parah," Riska mengeluarkan stok permen coklat yang selalu berada di kantongnya. "Kelompokmu gimana?" Tanyanya sambil memasukan permen coklat ke dalam mulut. "Udah ada rencana?"

"Belum,"

"Udah diskusi?"

"Belum juga," ucap alaya terdengar seperti balon yang mengambang tak terarah.

"Sama sih, kelompokmu siapa aja dah?" Tanya riska sambil memasukkan coklat lain ke dalam mulutnya.

Alaya merogoh ponselnya, menunjukan pesan yang dikirimkan misbah semalam.

"Mmm, inimah expert semua, ga Adil banget," ucap riska sambil membaca daftar nama dari layar ponsel. "Eh, Naya juga? Bukannya dia ga pernah masuk akhir-akhir ini?"

Alaya mengangkat bahu, "entah. Udah ditentuin dari sononya"

Riska menumpuk piring bekas rendang mereka menjadi satu tumpukan. "Kasian, jadi cuman berempat? Denger-denger si Naya ini mau keluar sekolah,"

"Loh, kenapa?" Tanya alaya penasaran
"Katanya sih ya, aku juga ga tahu. Dia hamil di luar nikah" ucap Riska sambil memelankan suaranya seolah ada orang lain selain mereka berdua.

"Ah, yang bener?"
"Ya aku gatau. Aku cuman denger dari orang"
"Sembarangan, ga mungkin lah."

Riska mengangkat bahu, menunjukan ekpresi 'tak mau tahu' pada Alaya dan kembali menatap ponsel.

"The Walkers(?)" Riska mengeja dengan nada menggantung. Melirik Alaya dari balik ponsel.

"Anggep aja itu nama regunya,"

"Hmm.." Riska mangut-mangut. "Aneh,"

"Emang punyamu gaada?" Tanya Alaya

"Ada," ucap Riska sambil menyeruput es jeruk dan bergidik begitu asam menyentuh lidahnya. "Tapi gaada mirip-mirip nya."

Alaya mengangkat sebelah alisnya menuntut penjelasan, mengabaikan sarkasme Riska tentang es jeruk buatannya.

"Well, punyaku namanya The Space," jelas Riska, "dan... aku sekelompok sama Afka,"

Alaya yang sedang menyeruput es jeruk hampir saja menyemburkannya, tapi bukan karena rasanya yang masam.

"Selamat ya," ucap alaya menyunggingkan senyum prihatin.

"Ah, resek."

Beep

Ponsel Alaya bergetar pelan, tanda pesan masuk.

...

"Tck, damn it!" Dirandra meruntuk, urat di tangan dan kepalanya menegang. Kedua tangannya sibuk bereksperiman dengan sebuah alat-semacam bangun prisma terbelah berbentuk sekepalan tangan. Dengan berbagai sirkuit kecil di dalamnya. Benda itu seperti onigiri, namun berwarna hitam pekat, nyaris tak memantulkan cahaya.

Sura knop pintu terbuka, diiringi Pras yang berjalan masuk. Ia menemukan kamar mereka super berantakan kali ini. Dengan printilan kecil alat-alat yang memancarkan aura 'jangan diinjak'.
Dirandra yang terfokus sama sekali tak sadar akan kehadiran Pras. Tangannya memegang solder dan sesekali bergantian mengetik sesuatu di laptopnya kemudian mencoret-coret buku.

"Ndra, ngapain?"

"Bentar, 10 menit,"

"Ga, aku tany-"

"Oh, Shut up," Potong dirandra cepat. Raut wajahnya berkerut dengan garis rahangnya yang mengeras, seolah tiap gerakan yang dilakukannya mempengaruhi hidup dan matinya. Di tangannya, ia mengenggam solder, dengan hati-hati menyentuhkan benda berujung panas ke dalam prisma terbelah miliknya.

"Alright, alright. Aku cuma mau ngasih tahu. Nanti sore kita ada kumpulan tugas kelompok," jelas pras sambil menengok ponselnya-membaca pesan dari Naya.

"Hmm," Dirandra berdeham,

Pras kali ini tak menganggunya, ia memilih untuk pergi meninggalkan Dirandra dengan eksperimennya.

...

Hujan gerimis membasahi jalan dan trotoar. Membuat aspal seperti permadani panjang yang terbuat dari kaca, memantulkan sinar berwarna oranye kemerahan yang terus bergerak.

Di sebuah Kafe, aroma kopi bercampur petrikor mengisi ruangan. Kaca lebar yang berada di sisi pintu membuat orang di dalamnya dapat melihat keluar. menyaksikan pemandangan jalanan lengang yang jarang terjadi. Alaya termasuk salah satunya, ia sesekali melihat keluar dan memainkan ponsel sambil duduk menyilangkan kakinya. Menunggu anggota kelompoknya datang.

**Petrikor: Aroma khas dari tanah yang biasanya muncul ketika hujan.

Tempat itu terlihat sepi, hanya terdapat pria paruh baya dan sepasang anak laki-laki yang duduk di meja dekat pintu. Beberapa orang diantaranya memilih berada di luaran kafe, menatapi jalan sambil menikmati kopi mereka. Beristirahat sejenak dari hiruk-pikuknya dunia.

Suara lonceng berdenting ketika pintu terbuka, diiringi dua figur laki-laki memasuki ruangan. Pras dan Dirandra. Pandangan keduanya mengedar mencari sosok yang dikenalnya, tak sulit bagi mereka menemukan Alaya yang sedang duduk memainkan ponselnya sendirian di salah satu meja dengan kursi kayu yang mengitarinya. Pras langsung menghampiri Alaya sementara Dirandra mengambil peran untuk memesan minuman.

"Yang lain?" Tanya pras sambil mengambil tempat di salah satu kursi kayu.

"Erik bakal telat katanya, masih kerja. Ehm.. Naya gabisa dateng," Alaya meletakkan ponselnya di sudut meja. Dari awal Pras dan Alaya memang jarang berbicara satu sama lain di sekolah. Status mereka hanyalah sekedar teman sekelas. Bahkan setelah dua tahun pelajaran mereka lewati. Bagi Alaya, sosok Pras memang tak terlalu akrab, seolah umur mereka terlampau jauh.

"Naya gimana? Ada alasan kenapa dia gak bisa ikut?" Tanya Pras sambil menyandarkan punggungnya pada kursi.

Dirandra datang menyela sambil membawa dua cangkir cappuccino di tangannya. "lah, dia ga ikut? Padahal dia yang nyuruh kumpul."

"Dia bantu bakalan. Katanya, secara online sama bikin laporan." Jelas Alaya

Dirandra mangut-mangut tak peduli, baginya takkan ada bedanya kehilangan satu atau dua orang, toh ia bisa melakukan semuanya sendiri. Pras menyeruput cappuccino nya tanpa meninggalkan sedikit busa di atas bibirnya. "Lalu? Alasan dia ga ikut?" Tanya pras terdengar menginterogasi, walau itu bukan niatnya.

"Urusan keluarga,"

Keadaan hening sejenak, selama beberapa menit tak ada yang mengucapkan apapun. Hanya suara rintikan hujan yang memukuli atap dan mesin kendaraan yang sesekali berlalu lalang.

Berangsur-angsur suara derap langkah yang menginjak jalanan basah terdengar semakin kuat. Di ambang pintu, Erik menampakkan dirinya sambil ngos-ngosan. Rambutnya sedikit basah karna hujan, dan air tetesan hujan masih menggantung di ujung sepatunya.

"Sori, aku masih ada kerjaan tadi," ucapnya mengatur nafas.

Setelah beberapa saat mereka berdiskusi ringan tentang bagaimana dan kapan melakukan ekspedisi. Ponsel mereka berdering bersamaan. Di layar ponsel tertulis sebuah notifikasi pesan dari Naya.

Perhatian mereka berempat segera teralihkan, mereka saling menatap beberapa saat sebelum membuka pesan dari masing-masing ponsel, kecuali Dirandra. Ia akan selalu mengintip ponsel milik pras. Terlalu malas untuk membuka pesannya sendiri.

"Lumayan juga," ucap Dirandra dengan nada mengejek saat membaca pesan dari Naya

_____

The Walkers (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang