Jomblang |1

6 1 0
                                    

Sinar matahari menyusup melalui celah jendela yang terbuka, lambaian tirai yang tertiup angin berhembus pelan memasuki ruangan. Alaya perlahan terbangun dari tidurnya menemukan seekor gagak hitam bertengger di ambang jendelanya, ia terduduk, mengucek matanya untuk memastikan ia telah benar-benar terbangun. Namun burung itu masih disana, beberapa tersebar di batang pohon, di kabel tiang listrik dan di sembarang tempat. Bulu burung itu berkilau hitam tertimpa cahaya matahari. Hal asing melihat burung gagak di sekitar area perumahan ini, di tambah burung gagak biasanya tidak bergerak secara berkelompok. Walau burung-burung itu berserakan di sembarang tempat yang bisa digunakan untuk bertengger namun hanya satu yang berada di ambang jendela dan entah mengapa burung itu terlihat berbeda. Selain karna bulunya yang berkilau, Benda berkilau lain menggantung di antara paruhnya. Burung itu melompat dan terbang ke arah Alaya, menjatuhkan tali berkilau dengan bandul bulan sabit yang tampak seperti pendulum.

Belum sempat Alaya bereaksi makhluk berbulu hitam serupa metalik itu melesat keluar, menghilang bersama kawanannya melewati rumah-rumah mewah yang bukan lagi menjadi pemandangan yang asing di area itu.

Lama Alaya menatap keluar jendela seolah mencari jawaban, berusaha mencerna hal yang tiba-tiba terjadi ketika ia bahkan belum sempat untuk menggosok giginya. Ia sempat tertegun dengan kalung indah yang kini berada di atas telapak tangannya. Tali kalung itu sebening kaca, membuatnya selalu terlihat dapat menggores apapun yang disentuhnya. Bandul berbentuk bulan sabit pipih dengan cincin yang mengitarinya membuat alaya terpesona ketika mengetahui bahwa ukiran bulan baru itu dapat berputar. Terpesona dengan keindahannya, ia teringat bahwa Benda di tangannya bukanlah miliknya, meskipun terlihat bahwa itu diberikan kepadannya. Namun, tetap saja pasti barang seindah itu telah dimiliki oleh seseorang, mungkin seorang seniman yang berada di sekitar area rumahnya? Entahlah.

Suara ketukan di pintu kamarnya membuatnya teralih. Bersamaan dengannya suara wanita bersuara serak memanggilnya. "Non? Sudah bangun? Kemaren katanya mau berangkat pagi?"

Alaya mengerjap, ia baru ingat bahwa ini adalah hari yang dijanjikan, ia melihat tanggal. Benar saja, ini sudah seminggu dari hari ia berdiskusi di kafe. Beruntung ia tak perlu membawa banyak barang. Jika ditanya, prinsipnya adalah: untuk apa bawa kalau bisa beli.

"Non?" Suara di balik pintunya kembali mengejar beriringan dengan ketukan pintu yang tak terdengar akan melambat.

"Iya bik Ela! Ini udah siap," Alaya berteriak sambil menyeruak ke arah kamar mandi.

"Di depan udah di tunggu teman-teman nya ya Non,"

"Hah?! Tolong Suruh masuk aja ya bik, biar sarapan dulu atau apalah," ucap alaya cepat sambil mengoleskan pasta gigi ke sikat giginya.

Sementara itu, jauh dari kericuhan di lantai atas. tiga figur laki-laki berjalan memasuki ruang tamu seluas ballroom dengan di persilakan seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai bik Asih.

"Masuk aja dulu nak, Nona Aya masih bersiap. Saya tinggal ambil kue di belakang sebentar ya, silahkan ditunggu," sebelum Asih melesat kebelakang Pras menghentikannya. "Mari saya bantu bik,"

"Yaampun gausah mas, jadi ngrepotin," Asih tertawa renyah mengibaskan tangannya, berusaha menolak sopan tawaran Pras

"Engga kok buk, ga ngrepotin." Pras tersenyum tipis. Garis wajahnya yang tegas dan rautnya yang mengintimidasi membuat senyum tipisnya kesulitan mengendurkan ekpresinya.

Asih menghela nafas, menatap seorang Pria dihadapannya dengan senyum penuh arti, "yasudah, ayo ikut saya kebelakang. Tapi kalo kesusahan nanti saya aja,"

Pras tersenyum dan mengangguk pelan, mengikuti Asih menghilang ke arah dapur.

Di sudut lain Dirandra duduk tenang mengotak atik Prisma metalik yang tersambung secara nirkabel dengan laptopnya.

The Walkers (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang