14: Jiwa yang Bersemayam

1.2K 230 19
                                    

Pertama kali membuka mata, Elvard mendapati dirinya berdiri di tengah lautan yang luas tak bertepi. Netra biru safirnya menyisir sekitar. Sejauh mata memandang, tidak ada yang bisa disaksikannya selain warna biru yang tampak menyatu antara laut dan langit. Elvard menunduk, bayangan di air menampilkan sosoknya yang mengenakan pakaian serba putih sederhana, membentuk kontras dengan rambut sewarna sayap gagak miliknya.

Tak peduli seberapa aneh situasi yang mengungkung, lelaki itu tetap dibungkus ketenangan sempurna seakan tidak ada hal yang mampu mengguncang dirinya. Elvard perlahan melangkah, setiap jejaknya membentuk riak di permukaan laut. Dia terus berjalan menuju kerlip cahaya yang berkilau di kejauhan.

Lambat laun, sebuah cermin perak hadir bagai tirai yang ditarik turun. Cermin itu tidak merefleksikan bayangan Elvard melainkan menunjukkan sosok seorang wanita.

Elvard tak pernah melihat ada wanita yang mampu menyaingi kecantikan Vyana-ibu kandungnya di kehidupan ini-sang Duchess yang hingga kini masih diakui sebagai bunga terindah di Kerajaan Raithien.

Ini pertama kali bagi Elvard menemukan ada eksistensi wanita yang mampu membuatnya terpesona. Dibandingkan sosok wanita di dalam cermin, kecantikan ibunya bak cahaya kunang-kunang yang meredup.

Wanita itu berdiri mengenakan gaun putih polos yang panjangnya hanya mencapai lutut. Gaunnya tak seperti desain umum di dunia ini dan tampak seperti gaun musim panas yang biasa Elvard saksikan semasa dia masih menjadi Lee Yeoreum. Semua wanita di kontinen ini cenderung konservatif, memperlihatkan kaki bahkan dianggap tak sopan. Namun, wanita di cermin justru mengenakan pakaian yang lebih terbuka.

Meski begitu, tidak ada yang tampak salah dengan penampilannya. Pakaian putih tanpa hiasan justru semakin menonjolkan wajah cantiknya. Rambut biru panjangnya yang sewarna lautan terurai melewati pinggang. Serupa Elvard, warna mata mereka persis sama, seumpama lautan terdalam bak permata safir yang terkubur di samudera.

Jika ada yang berbeda, maka tatapan mata wanita itu memancarkan sendu.

Keduanya terdiam lama, saling menatap tanpa ada kata yang tertuang hingga Elvard mengulurkan tangan ke depan menyentuh permukaan cermin.

"Terima kasih."

Itu adalah pernyataan pertama yang ingin disuarakannya tulus dari lubuk hati.

Elvard tidak peduli sama sekali dengan kenyataan jika sosok di hadapannya tak lebih dari sisa jiwa yang mendekam akibat dendam. Dia sangat mengerti apa itu Artefak Keramat dan bagaimana benda semacam itu bekerja. Dia juga tahu ada bayaran atas kekuatan yang dia dapatkan dari artefak.

"Aku tak membantumu tanpa merenggut sesuatu darimu, tidak perlu berterima kasih." Suara yang terdengar merdu perlahan jatuh membalas.

Kendati demikian, Elvard masih ingin menyatakan terima kasihnya. "Aku tahu, pada dasarnya ini pertukaran setara tapi itu tak mengubah kenyataan kalau kamu sudah bersedia untuk membantuku."

Jiwa dalam artefak itu telah berkenan menjawab panggilannya. Ini adalah hal yang tak bisa Elvard paksakan. Andai jiwa dalam liontin itu bersikeras menolaknya, Elvard yakin dirinya tetap akan terdorong mundur.

"Terlebih lagi, kamu hadir di sini sekarang, menunjukkan dirimu dan tidak lekas menuntut bayaran atas kekuatan yang kupinjam darimu. Ini sudah cukup menunjukkan niat baik, sudah semestinya aku menyatakan terima kasih."

Refleksi di cermin terdiam sejenak, tidak ada yang tahu apa yang tengah dipikirkannya. Keheningan menggelayut lama. Elvard tidak lagi mengatakan apa-apa, dia berdiri di sana. Menunggu tenang. Hatinya tidak mendesak walau Elvard tahu jelas posisinya saat ini tidak menguntungkan. Semakin kuat kesadaran jiwa dalam Artefak Keramat maka semakin kuat pula kendalinya. Dalam skenario terburuk, Artefak Keramat itu bisa saja mencelakai pemakainya.

[BL] The King's Nightmare (Original Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang