"Gilang sama Mela jangan pulang dulu! Kita diskusi bentar!" seru Alvia ketika jam pulang sudah tiba.
Hari ini, Alvia memutuskan untuk diskusi sebentar mengenai kerja kelompok tugas Ekonomi minggu lalu. Sebelumnya, karena Farah pindah kelas dan kelompoknya jadi berkurang anggota, Alvia bertanya kepada Bu Nur perihal bagaimana dengan kondisi kelompoknya setelah Farah pindah kelas.
Bicara tentang Farah, Alvia kemarin bertemu dengannya di salah satu cafe. Mereka mengobrol dan berlanjut dengan makan di satu meja yang sama.
"Lama, ya, kita nggak main kayak gini," papar Alvia saat itu.
"Iya, udah lama kayaknya," sahut Farah. Percakapan keduanya hanya berlanjut sebentar saja. Farah saat itu seperti terburu-buru untuk pulang. Alvia saat itu merasa jika Farah seperti berusaha menghindarinya.
Selanjutnya, jawaban dari Bu Nur yang mengatakan tak apa. Maka dari itu Alvia langsung segera mengerjakannya hari ini. Mereka merundingkan bersama kelanjutan yang matang untuk tugas Ekonomi mereka karena ini menyangkut nilainya dan juga nilai mereka. Jadi, Alvia tak mau mengulur-ulur waktu.
"Kita omongin lagi soal tugas kelompok yang kemarin," ujar Alvia sambil memasukkan buku pelajaran hari ini. Menyisakan satu buku tulis dan tempat pensil yang masih ada di meja.
"Oh, ya, Vi ... jadi, di toko mana buat tugas Ekonominya?" tanya Mela menarik satu kursi di sebelah Alvia.
Gilang sudah duduk tenang di depan Alvia. Ia mengunci pandangannya pada Alvia, menatap lekat-lekat. Alvia yang sedari tadi sudah merasakan keanehan Gilang mulai sedikit risih di pandang seintens itu.
Bukan risih sebenarnya, takut dianya tiba-tiba merona oleh pandangan Gilang.
"Makanya sekarang dibicarakan. Oke, gue mulai, ya?" pinta Alvia kepada Gilang dan Mela yang segera dibalas anggukan oleh keduanya.
"Karena kita ini, kan anggota kelompoknya sedikit dan Bu Nur nggak nambahin anak lagi karena sudah pas. Jadi, kita bener-bener harus bagi tugas."
"Terus untuk perkara pemilihan toko, kan kita juga belom. Kapan kita mulai nentuin tokonya?" ungkap Alvia menatap Mela dan Gilang bergantian.
"Vi ... gimana untuk tokonya dibagi. Satu orang harus kasih rekomen toko yang sekiranya bisa dimasukkan ke laporan tugas kelompok kita. Terus dipilih lagi untuk tahap fix-nya toko yang mana yang bakal dipakai. Gimana?" saran Mela.
Alvia terdiam sejenak memikirkan saran dari Mela. Ia menatap Gilang yang terlihat santai menanggapi usulan dari Mela.
"Nggak makan waktu itu, tapi, Mel?" sahut Gilang.
"Iya, harus cepet dong. Kalau lelet, berarti salah lo sendiri, kan yang kurang satset," cerca Mela.
"Oke. Kita coba dari saran Mela. Untuk mencegah dari leletnya kasih rekomen toko tadi, kalau aku kasih tenggat besok sanggup nggak?" tawar Alvia.
"Sanggup. Sekalian jalan-jalan ntar gue soalnya," jawab Mela dengan menyengir.
"Lo gimana, Lang?"
"Ck! Gue mah setuju aja." Alvia mengangguk menyetujui. Diskusi kelompok hari itu selesai setelah menentukan tenggat waktu untuk pemilihan toko mana yang akan mereka pilih sebagai bahan tugas kelompok mereka.
Mela pun langsung meninggalkan kelas setelah diskusi selesai. Suasana sekolah sudah mulai terlihat sepi, hanya ada beberapa murid yang entah merupakan anggota OSIS atau sedang mengikuti ekstrakurikuler.
Berangkat bersama, pulang pun bersama. Alvia mengikuti Gilang di belakang dengan pikiran yang masih terarah ke tugas kelompok Ekonomi. Terlalu larut dalam berpikir, ia sampai tidak sadar jika Alvia sudah sampai di parkiran yang berujung dia menabrak tas Gilang.
Alvia memukul punggung Gilang, mendesis kesakitan. "Kalau mau berhenti kasih pemberitahuan kek! Main rem mendadak aja," sungut Alvia sembari mengusap keningnya.
Gilang membalikkan badan dan menatap Alvia datar. "Lo sendiri yang nggak fokus. Udah tau lagi jalan malah nggak fokus," cibir Gilang kembali menghadap depan mengeluarkan motornya.
Alvia melirik sinis pada Gilang ketika laki-laki itu memberikan helm untuk Alvia. Ia mulai menaiki jok motor Gilang setelah siap. Sebelum Gilang menyalakan motornya, dia menoleh ke belakang menatap Alvia.
"Lo hari ini ada jadwal lain nggak?" tanya Gilang.
"Nggak ada, sih. Kenapa emangnya?"
"Cari tukang bakso mau nggak? Sekalian buat bahan tugas kelompok gimana?" Entah mendapat ide dan nyali darimana, Gilang mengajak Alvia untuk makan setelah pulang sekolah.
Entah nanti dia akan mendapatkan pelototan tajam dari ayah Alvia atau justru sebaliknya, mendapatkan dukungan dari ibu Alvia yang pasti jika Alvia mengatakan 'ya' maka dia akan langsung merealisasikannya.
"Gue lagi nggak bawa uang lebih masalahnya, Lang. Udah, deh, cari sendiri-sendiri aja biar ada referensi berbeda dari kita," ujar Alvia memegang sisi helm Gilang dan memutarnya mengarah ke depan.
"Pakai uang gue. Lo mau apa nggak langsung gue gas ini cari tempatnya," papar Gilang tak sabar.
"Beneran pakai uang lo? Gue beneran nggak bawa uang lebih lho ini. Kalau sampai kurang, lo ya, yang cuci piring."
"Ya Allah, Vi, beneran pakai uang gue," erang Gilang mulai gemas dengan perkataan Alvia.
"Oke lah. Cuss ayo cari ke buru malem," ujar Alvia menepuk pundak Gilang antusias.
***
Farah menatap makanannya tanpa minat ketika dia sedang makan malam bersama keluarga. Kebanyakan mereka akan sangat senang jika makan bersama dengan keluarga. Mereka akan bersenda gurau, saling melempar candaan atau bercerita satu sama lain, tetapi tidak untuk Farah.
Farah sangat tidak menyukai jika dia harus makan bersama keluarga karena dia akan mendapat permintaan ini, itu dengan segala tekanan. Itu sangat memuakkan baginya.
"Gimana di kelas baru?" tanya ayah Farah di sela-sela makan.
Dalam hati Farah ingin mengeluarkan makian sekeras-kerasnya. Ia tersenyum menanggapi pertanyaan sang ayah. "Baik nggak ada masalah."
"Sama nilai kamu ada masalah?"
Farah menelan kunyahan makanannya dengan susah. Ia mengambil gelas air minum dan meminumnya sedikit untuk meminimalisir.
"Nggak ada masalah." Singkat Farah menjawab.
Seorang ibu yang biasanya menjadi penolong, pemberi kasih sayang dari segala apapun juga tak bisa Farah mintai pertolongan. Ibunya pun menuntut kesempurnaan supaya keluarganya di pandang sempurna oleh orang-orang.
Hanya karena omongan orang, entah kenapa orang tuanya begitu menuntut untuk menjadi sempurna. Semua orang pun jika sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi, jika hasil yang diberikan tidak terlalu memuaskan apakah harus terus menerus menuntut?
Farah tahu jika itu untuk kebaikan masa depannya. Di awal, ia tak pernah protes atau merasa aneh dengan tuntutan-tuntutan dari kedua orang tuanya. Namun, semakin ke sini, dia mulai jengah sekaligus merasa berisik dengan ucapan-ucapan mereka.
Terdengar seperti anak durhaka, tetapi Farah sendiri pun lambat laun ia merasa tertekan dengan tuntutan tersebut.
"Pertahankan nilaimu. Jangan sampai kamu tersaingi lagi dengan temanmu itu," kata ayah Farah.
Tuntutan banget nggak tuh 🌝
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...