satu

1K 77 8
                                    

Memiliki keluarga dan rumah yang hangat sebagai tempat pulang terbaik memang impian semua orang. Tapi, tidak semua orang bisa mendapatkannya.

Mereka adalah sosok tegar yang mempunyai impian sederhana berupa tempat pulang ternyaman. Namun, kebanyakan dari mereka tidak beruntung. Segalanya tidak semudah membalik telapak tangan.

Lagi-lagi yang tersisa hanya kekecewaan.

"Kamu gimana, sih, Dimas? Percuma dong Papa bayarin les-mu terus kalau nilai kamu gak ada perubahan? Malu-maluin! Contoh tuh kakak kamu! Dia gak ikut les aja udah bagus nilainya!" Masih pagi, tapi seorang pria paruh baya memulai perdebatan di meja makan.

Dimas, pemuda yang duduk di hadapannya hanya mengaduk piring berisi makanan tanpa memiliki nafsu untuk memakannya.

Kalau masih ada Mama, gak akan begini.

"Samudera emang pinter sih, Pa, kayak mamanya. Good job, Nak." Seorang wanita paruh baya yang duduk di sebelah Papanya tiba-tiba menimpal ocehan suaminya.

Kalau gak ada wanita ini, gak akan begini.

"Aku berangkat dulu." Samudera berdiri dari duduknya sambil menjinjing tas ranselnya dan langsung melenggang pergi dari sana.

Sedangkan Dimas, pemuda yang dibicarakan sedang menenggak gelas berisi air hingga tandas lalu setelahnya ia berpamitan untuk berangkat ke sekolah.

"Mas Sam! Dimas mau nebeng, ya?" Dimas tersenyum, ia mendekati kakaknya yang bersiap melajukan motor matic-nya. "Mas ... boleh, ya? Sekali aja ...."

Dimas menarik-narik ujung jaket yang Samudera kenakan untuk menarik perhatiannya.

Dimas sungguh berharap setidaknya dalam rumah ini ia memiliki tempat bersandar dan sosok yang berpihak padanya, namun dengan Samudera yang melajukan motornya sehingga meninggalkannya sendirian membuat harapannya pupus.

Aku senang punya kakak, tapi dia gak senang punya adik kayak aku.

Jika ibu masih ada di dunia ini dengannya, mungkin Dimas tidak sendirian seperti ini.

Dulu keluarganya sangat harmonis. Hanya ada ia, Papa dan Mama. Sampai suatu hari sang ibu meninggal karena penyakit jantung bawaan saat Dimas masih berusia sepuluh tahun.

Kala Dimas menginjak bangku SMP, Papa memperkenalkannya pada keluarga baru yang hingga saat ini masih menjadi keluarganya. Seharusnya Dimas dan Samudera sudah bisa dekat, tapi lelaki itu sulit dimengerti.

Ditambah lagi, Samudera si sempurna yang membuat Papa terkagum berhasil membuat Dimas mendapat berbagai desakan agar bisa setara dengan kakaknya.

Pria paruh baya itu tidak sadar sudah menghilangkan senyuman sang anak padanya. Ia bahkan mungkin tidak menyadari bahwa Dimas telah kehilangan banyak berat badan sampai jadi sekurus itu.

Sudah sial terkena omelan pagi-pagi, kini ia dikumpulkan bersama murid lain di bawah teriknya matahari karena terlambat beberapa menit.

Sebenarnya hal seperti ini sudah biasa jika nilainya turun. Papa tidak akan memberikan uang saku hingga Dimas tidak bisa menaiki angkutan umum, sedangkan Samudera yang memiliki motor sudah terbiasa enggan berangkat bersama dengannya.

Jadi, Dimas terpaksa berjalan kaki.

"Kakak ngos-ngosan banget. Kecapekan, ya?" Tiba-tiba seorang gadis yang berdiri di sebelahnya berbisik.

Dimas menoleh untuk melihat wajahnya yang justru terhalang botol air mineral. "Nih minum dulu, gak apa-apa aku bisa beli lagi. Aku juga gak ngos-ngosan kayak kakak."

Tak mendapat respons, gadis itu melirik bordiran nama pada seragamnya dan mengeja nama pemuda itu sambil memaksanya menerima botol air mineral pemberiannya.

Sebelum Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang