sebelas - end

650 65 28
                                    

"Udah dibawa kadonya?"

"Udah!"

"Udah pakai helm?"

"Udah, Mas! Gede gini masa gak keliatan?"

Samudera tertawa, pemuda itu kemudian menyalakan mesin motor sementara Dimas segera menaiki bagian belakang yang kosong. Setelah selesai makan, keduanya memutuskan untuk mengantar hadiah ke rumah Kanaya.

Mereka akhirnya mulai menyusuri jalanan kota berbekal alamat yang diberikan Kanaya dan mengikuti perintah google maps, meski sebenarnya Samudera tidak memerlukannya.

Anak rambutnya bertabrakan dengan angin hingga membuatnya menari-nari di udara. Dimas melirik spion untuk memperhatikan kakaknya. "Mas, mau peluk. Pusing dikit kayaknya gara-gara angin malam."

"Iya, peluk aja, Dimas." Mendengar itu, Dimas akhirnya mendekap kakaknya dengan erat. Pemuda itu enggan melepasnya barang sedetik pun.

Namun, seperti kecepatan cahaya, semuanya terjadi begitu cepat. Tubuh pemuda itu melayang lalu terbanting ke aspal. Daripada merasakan sakit, Dimas justru bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi?

Suara dalam kepalanya terlalu banyak. Daripada bunyi derap-derap langkah manusia, Dimas lebih tertarik dengan bunyi gesekan besi dengan aspal yang terdengar tidak jauh darinya.

Ia melihat kakaknya terbaring dengan berselimutkan darah, motornya tergeletak di dekatnya dan Dimas menduga benda itu menyeret kakaknya menjauh.

Bagaimana mungkin ini terjadi?

Sekujur tubuhnya kaku dan mulai berubah menjadi dingin, ia tidak dapat merasakan apa pun. Namun, Dimas masih bisa menangis menatap tubuh kakaknya.

Ia harap semua ini hanyalah mimpi. Dimas tidak mau dijemput sekarang, ia masih mau di sini bersama kakaknya, keluarganya. Juga Kanaya, gadis itu pasti sedang menunggunya.

Jika ia pulang hari ini, bagaimana mungkin ia tidak berpamitan pada semuanya?

Dimas masih ingin di sini, tapi, tarikan napasnya memendek dan kesadarannya hilang. Apabila sudah waktunya, ia rela.

-

Rumah sakit menjadi momok menakutkan bagi semua orang. Termasuk Kanaya yang kini berdiri mematung di depan pintu IGD. Ia menunggu hasil pemeriksaan di luar karena yang boleh masuk ke dalam IGD hanya keluarga terdekat pasien, yaitu kedua orang tua Samudera dan Dimas.

Kado yang rencananya akan diberikan Dimas padanya sudah berada di dekapan, namun gadis itu tidak tega untuk membukanya dalam waktu dekat. Semua ini tidak penting sekarang.

Begitu diberi informasi oleh dokter bahwa Samudera telah dipindahkan ke ruang operasi, Kanaya cemas. Gadis itu memohon untuk masuk ke dalam ruang IGD dan begitu diizinkan, ia bertemu seorang pria yang menunggu putranya dari kejauhan.

"Om, aku ... teman Kak Dimas."

Pria itu menoleh dengan buliran air mata di wajahnya. "Iya, saya Papanya."

Kanaya mengangguk, ia melirik dokter dan para perawat yang sedang menangani Dimas dengan brankar yang sudah dibanjiri oleh darah sampai menetes ke lantai. Beberapa perawat menekankan kasa pada luka untuk menghentikan perdarahan.

Monitor berbunyi panjang, pikiran-pikiran buruk mulai datang pada keduanya seiring para perawat dan dokter melakukan upaya keselamatan pada Dimas.

Suara nyaring itu berhenti dan seorang dokter mendekat pada mereka untuk berkata, "Maaf, Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Pasien--"

Belum selesai dokter menjelaskan, pria paruh baya itu segera berlari menuju brankar tempat di mana putranya terbujur kaku, begitu juga Kanaya yang berdiri di sisi yang lain. "Dimas, bangun. Dimas, kamu ... gak mungkin! Dimas bangun! Papa belum kasih kado natal buat kamu! Ayo bangun buat Papa!"

Sebelum Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang