enam

384 64 6
                                    

"Cewek tadi siapa, Dimas?"

"Adik kelas, Jem. Biarin aja, dia emang suka nempel sama aku." Jemma mencebik mendengar penjelasan santai dari Dimas yang terkesan tidak peduli.

"Sejak kapan? Kayaknya dia suka sama lo?" Jemma melipat kedua tangannya di dada, menagih pertanyaan lagi.

"Emang, dia bilang sendiri. Tapi aku gak ada perasaan apa pun sama dia." Lagi-lagi pemuda itu menjawab dengan santai dan tetap berjalan menaiki tangga tanpa menyadari bahwa Jemma tertinggal di belakang karena berhenti di salah satu anak tangga.

Jemma merotasikan bola matanya malas dan segera mengekori pemuda itu untuk memberikan protes. "Sesusah itu kah suka sama orang lain? Dia cantik tau!"

Kini Dimas yang menghentikan langkahnya dan menoleh ke kiri untuk mendapati Jemma yang memasang wajah kesal. "Sesusah itu juga kamu buat suka balik sama aku?" tanyanya.

Jemma berdecak, ia selalu dibuat terpojok. "Lo cuma teman gue, Dimas. Jangan menaruh harapan besar sama manusia. Jangan nungguin gue." Belum sempat ia membalas, Jemma sudah pergi dari hadapannya dan memasuki kelas.

Apa Jemma gak nyaman sama aku?

Benar, harapan hanyalah salah satu keegoisan manusia. Manusia terkadang tidak tahu diri dan menganggap harapan akan mengubah hidupnya. Pemuda itu tahu betul, ia sudah banyak tertipu oleh harapannya sendiri.

Harapan mampu menipu banyak manusia dan menusuk kalbu dengan bengis.

"Dimas, masa PR yang kemarin hampir salah semua, sih?"

Dimas yang memasuki kelas langsung dihadang dan ditodong pertanyaan oleh beberapa murid laki-laki. Murid yang lain menimpal, "Iya, nih. Gue kira nyontek lo bakal naik nilainya. Secara lo kan adiknya Kak Samudera yang pintar banget itu."

Dimas yang hendak membalas perkataan mereka ditahan oleh Jemma yang tiba-tiba datang dan berdiri di depannya. "Gue selama ini nahan-nahan gak lapor ke guru soal kalian yang suka nyontek karena gak dibolehin sama Dimas, ya, monyet! Kalo mau nilai bagus belajar sendiri! Jangan nyalahin orang lain! Udah nyontek, gak tau diri."

"Jemma, gak apa-apa." Dimas menarik Jemma untuk mundur ke belakang tubuhnya.

"Gak apa-apa gimana sih?! Lo jangan mau diinjek terus sama orang kayak gini! Lo harus lawan!" Jemma meneriaki lawan bicaranya dengan menggebu-gebu.

Aku ... gak bisa.

Ia kemudian menyingkir dari sana dan duduk di tempatnya tanpa berkata apa pun lagi. Sebelum guru masuk, ia ingin mengistirahatkan tubuhnya sebentar dengan menelungkupkan kepalanya ke meja.

Jemma memberi tatapan tajam pada murid-murid itu sebelum akhirnya keluar dari kelas untuk melaporkan semua yang ia pendam selama ini kepada wali kelas.

Sejak saat itu, Dimas tidak pernah lagi dimintai contekan oleh mereka. Tetapi, segalanya tidak berlalu semudah itu. Tanpa diketahui Jemma, mereka akan merundung Dimas sepulang sekolah dengan membawanya ke gang-gang kecil untuk dipukuli.

Sedangkan hari ini, Dimas dipaksa untuk menikmati rokok yang disodorkan ke arahnya. Dimas menggeleng dan menolak sambil terbatuk tidak nyaman. Kemudian, ia berakhir dipukuli dan selalu enggan melawan karena tidak ingin membuat segalanya menjadi panjang.

Dimas bukannya bodoh. Ia hanya tidak ingin merepotkan orang lain dan membuat mereka mengasihaninya. Terutama, Samudera. Pemuda itu juga malu jika nantinya Samudera tahu bahwa adiknya adalah pecundang.

Tubuh sekurus itu harus menerima pukulan hampir setiap hari dan keluarganya tidak menyadari perubahan pada diri Dimas yang selalu menolak untuk makan bersama dan lebih sering berada di dalam kamar.

Sebelum Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang