lima

384 55 5
                                    

Kini sudah terhidang berbagai macam menu makan malam serta kue ulang tahun di tengah-tengah mereka. Meja bundar itu nyaris tidak menyisakan tempat karena banyaknya makanan.

Papa menyalakan lilin pada kue tersebut dan mulai menyanyikan lagu selamat ulang tahun sehingga ketiganya ikut bernyanyi bersama.

"Happy birthday to you, happy birthday to you."

"Happy birthday Samudera, happy birthday to you."

Samudera melirik ke arah adiknya yang melengkungkan senyuman tipis padanya. Pemuda itu merasakan getir aneh menyerang kalbunya, entah mengapa rasanya sakit melihat senyuman itu.

"Tiup lilinnya, sayang," ucap Mama.

"Ma, Pa, kenapa Sam lagi? Bukannya Sam udah dirayakan tadi pagi? Sam kira kue ini untuk Dimas."

"Gak apa-apa, Mas. Tadi di sekolah aku udah dirayain kok sama temen-temen," tutur Dimas dengan kekehan di akhir kalimatnya.

"Tuh adikmu aja bilang kayak gitu. Sekarang tiup lilinnya, ya?" Permintaan Papanya tidak langsung Samudera lakukan. Pemuda itu kembali melirik ke arah Dimas yang duduk di sebelah kirinya. "Kalo gitu ... kita tiup lilin bareng, ya?"

"Eh, gak usah, Mas. Kan ini kue buat Mas."

"Kueku, kuemu juga. Ayo." Samudera akhirnya meniup lilin pada kue ulang tahun bersama Dimas sambil menggandeng tangannya.

Benar, Dimas tidak pandai berbohong. Hatinya teriris menjadi butiran-butiran air mata di pelupuk matanya. Pemuda itu tidak pandai menyembunyikannya sehingga memilih untuk izin pergi ke toilet.

Dimas sudah berharap banyak. Pemuda itu juga berpikir bahwa adanya kue itu adalah untuk merayakan ulang tahunnya. Namun, begitu realita memecahkan ekspektasinya Dimas tidak bisa berbuat banyak selain menangis.

Pemuda itu tahu bahwa menangis tidak dapat mengubah apa pun, tapi, rasanya dihancurkan oleh harapan sendiri sangatlah menyakitkan. Dimas jadi tahu, bahwa ia tidak boleh mengharapkan sesuatu pada manusia dan harus menurunkan ekspektasinya mulai dari sekarang.

Dimas menghapus air matanya dan membenahi tatanan diri sebelum akhirnya keluar dari sana untuk kembali ke meja makan.

"Kamu beneran gak mau dirayain besar-besaran?"

"Gak usah, Mama."

"Sam ini lho, Mas. Maunya dirayain kecil-kecilan dan tanpa pesta. Padahal kan Mama mau pamerin Sam ke temen-temen Mama."

"Ya udah, Samnya aja gak mau. Jangan dipaksa, Ma."

Sayup-sayup terdengar obrolan keluarganya sebelum akhirnya Dimas benar-benar duduk kembali di kursi. Makan malam di restoran mewah jadi terasa biasa saja bagi Dimas karena perhatian kedua orang tuanya hanya terfokus pada sang kakak.

"Kamu gimana perisapan olimpiadenya, Nak?"

"Lancar, Pa."

"Tanggal berapa pelaksanaannya? Biar Papa sama Mama bisa ngosongin jadwal."

Dimas tersenyum tipis dan fokus menatap piring berisi makanannya sambil mendengarkan obrolan itu. Ia tanpa sadar kembali mengingat hari-hari di mana kedua orang tuanya enggan mengambil buku raport untuknya.

Dimas juga jadi ingat hari di mana ia mengikuti lomba tari ballet dan melakukan kekacauan sampai membuat kedua orang tuanya malu. Hari itu, ia dimarahi habis-habisan karena mempermalukan kedua orang tuanya. Papa yang mengeluh diejek oleh teman kantornya dan Mama yang selalu disinggung saat arisan mengenai pertunjukan ballet-nya yang gagal.

"Mulai sekarang, kamu fokus belajar. Jadi pintar seperti kakakmu. Papa malu!"

"Gak usah ikut ballet-ballet! Kayak perempuan!"

Sebelum Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang