delapan

364 61 5
                                    

Ketukan pintu kamar menginterupsi pemuda itu. Akhirnya, ia menghapus jejak air mata di wajahnya dan turun dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Sosok Samudera muncul di sana dengan membawa nampan di tangan yang berisi sepiring makanan dan segelas air putih.

Dimas akhirnya mempersilakan kakaknya untuk masuk dan kembali mengunci pintu kamarnya. Pemuda itu menoleh dan mendapati kakaknya meletakkan nampan beserta isinya di atas nakas kemudian mendaratkan bokongnya di tempat tidur.

"Sini, Dimas."

Dimas mendekat dan ikut duduk di sebelah kakaknya. Ia merasa surainya diusap pelan dan tampak hati-hati. "Maaf, Mas terlambat."

"Mas gak terlambat, buktinya Mas udah di sini." Dimas tersenyum dan memantapkan hati untuk membalas tatapan kakaknya. "Mas percaya sama aku?"

"Mas percaya sama kamu. Sekarang, kamu makan. Abis ini lukamu Mas obati," titah pemuda yang setahun lebih tua darinya itu. Dimas mengangguk dan menerima uluran piring berisi makanan dari Samudera untuk ia makan.

Karena kelaparan, tanpa sadar ia makan dengan terlalu lahap sampai membuat hati Samudera tercubit. Beberapa saat kemudian, makanan di dalam piring itu habis tidak bersisa dan Dimas mengakhirinya dengan menenggak air putih.

"Makasih, Mas. Nasi gorengnya enak."

Samudera mengangguk. Ia kemudian beralih untuk mengobati seluruh luka di tubuh adiknya, entah luka akibat kekerasan di sekolah maupun kekerasan yang dilakukan papa mereka. Melihatnya, membuat hatinya teriris. Samudera total bisa merasakan bagaimana perihnya semua ini.

"Cuma Mas yang percaya sama aku," keluh pemuda yang lebih muda satu tahun dari Samudera itu. Mata bulatnya berubah sayu, ia memalingkan wajahnya ke arah lain.

Samudera menghentikan gerakannya membuka kotak p3k dan beralih menatap adiknya. "Mas udah lebih lama tinggal sama Mama daripada kamu, Dimas. Jadi, Mas tau semuanya."

"Makasih udah percaya sama aku, Mas." Dimas mengambil jeda untuk kemudian bertanya, "Besok aku mau berangkat sekolah sama Mas, boleh?"

Sebuah anggukan berhasil menjawab pertanyaan adiknya. Sesederhana itu, adiknya bisa tersenyum sumringah. "Tapi, kamu udah baik-baik aja?" tanyanya.

"Udah, kan mau diobati sama calon dokter." Mendengarnya, Samudera tersenyum. Pemuda bersurai gelap itu tampak fokus mengobati luka di sudut bibir adiknya.

"Mulai sekarang, kamu jangan pendam semuanya sendiri. Ceritain apa pun ke Mas." Samudera menekan luka di sudut bibir adiknya yang mulai mengering dengan menggunakan kapas yang sudah diteteskan cairan antiseptik.

"Perundung-perundung itu juga udah dikeluarin dari sekolah, jadi kamu bakal aman. Tapi, kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang sama Mas."

"Iya, bawel." Dimas mencebik dan mengaduh dengan jeda yang singkat sebab kakaknya terlalu menekan kapas antiseptik tersebut ke luka yang ada di pelipisnya.

"Ternyata Mas bisa bawel, ya. Aku pengen dibawelin terus. Aku gak apa-apa, justru senang. Itu artinya ada yang peduli sama aku." Dimas mendapatkan plester yang kakaknya tempelkan di pelipis sebagi luka terakhir yang diobati.

"Iya, nanti Mas bawelin terus. Sekarang kamu istirahat, besok kita berangkat ke sekolah bareng, ya." Dimas merasakan usapan ringan di surainya.

"Mas, mau peluk dulu." Dimas merentangkan tangan dan menyambut dekapan hangat kakaknya. Rasanya masih sama, hangat. Dekapan itu tidak berlangsung lama karena Dimas melepasnya lebih dulu. "Mas, gimana kalo kita berangkat dan pulang bareng? Pengen ngerasain pulang sekolah bareng juga."

"Tapi Mas ada latihan buat olimpiade, agak sore baru pulang."

"Gak apa-apa!"

"Setiap hari."

Sebelum Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang