bonus

297 38 8
                                    

Samudera bertanya-tanya pada laut di hadapannya. Meski isi kepalanya begitu rumit, ia mampu menyimpulkan satu pertanyaan berupa, "Pantaskah aku untuk tetap hidup?"

Sapuan ombak menabrak bebatuan karang di bawah sana, ia melongok tertarik dan mengambil kesimpulan bahwa Tuhan mungkin marah padanya.

Di atas tebing yang curam ini, pikirannya berkecamuk. Pemuda itu dihadapkan oleh dua pilihan, yakni hidup atau mati. Langit sore di hadapannya yang membawa matahari terbenam membuat ia berpaling dari gulungan ombak.

Apa artinya hidup?

Untuk siapa ia hidup?

Samudera masih belum menemukan jawabannya sejak satu bulan yang lalu. Sejak adiknya pergi dan meninggalkan rindu yang tak berujung, ditinggalkan oleh ayahnya yang mengakhiri hidup, serta dibuang oleh ibunya yang kini pergi entah ke negeri mana setelah berhasil lolos dari penjara.

Tentu, kini ia tidak semata-mata sendiri. Jemma dan Kanaya adalah dua sosok yang selalu menemaninya untuk sekadar membuatkan makanan untuknya atau membersihkan rumah. Ia berhutang budi pada mereka.

Pemuda itu melepas kruk dari salah satu tangannya dan melemparkannya untuk disantap oleh ombak. Tak berselang lama, benda itu mengapung di permukaan air.

Pemuda itu kemudian meraba ransel punggung yang ia gendong di belakang tubuhnya untuk memastikan apabila ia terjatuh ke bawah sana, ia tidak akan pernah mengapung ke permukaan.

Ranselnya begitu berat. Sayangnya, tidak seberat apa yang adiknya alami selama ini. "Sebelum aku pulang, aku ingin berpamitan pada semua."

Meski bertabrakan dengan angin, ia tetap berbicara, "Maafkan aku yang egois dan ingin lebih dulu bertemu adikku."

"Maafkan aku yang ceroboh sebagai seorang kakak yang membiarkan Tuhan mengambil teman kalian, Jemma, Kanaya. Aku berhutang budi pada kalian, mungkin balasanku untuk semua yang kalian lakukan untukku tidak seberapa, tapi aku harap kalian mau menerimanya."

"Maafkan aku, Dimas. Penderitaanmu selama ini adalah akibat dari kelalaianku."

"Maafkan aku, Tuhan. Meski kau tak menjemputku, aku tetap akan datang."

Samudera maju selangkah sambil melepas satu-satunya kruk yang masih tersisa di salah satu tangannya dan berjalan terseok menuju ujung tebing. Ransel yang berat membuat ia makin sulit berjalan selain karena luka di kakinya yang belum sembuh total.

"Mas Sam!"

Meski samar-samar, ia yakin itu adalah suara adiknya. Pemuda itu menoleh ke sembarang arah untuk mencari sumber suara yang berhasil menggetarkan hatinya.

"Mas Sam! Ayo ke sini!"

Benarkah suara itu berasal dari dasar laut?

"Ayo, Mas! Aku di dalam sini!"

Samudera meneteskan sebulir air mata di wajahnya. Pandangannya terfokus pada hamparan air laut yang memamerkan gulungan ombaknya. "Dimas!" Ia memanggil dengan putus asa.

"Kak Sam sadar!" Pemuda itu merasakan tubuhnya ditarik ke belakang hingga membuatnya terjatuh. Ia menengadah untuk mendapati Jemma dan Kanaya menatap dengan resah padanya.

"Dimas ada di sana." Ia mengacungkan telunjuk ke arah laut.

"Kak Dimas udah gak ada, Kak!" Kanaya menjatuhkan dirinya untuk terduduk di sebelah pemuda itu. Ia dengan putus asa mengembalikan kesadaran pemuda itu.

Tanpa pemuda itu sadari, Jemma sudah melepaskan ransel yang ia bawa dan memeriksa isi di dalamnya. Gadis itu terkejut dengan bebatuan yang menumpuk tak beraturan. Ia menduga ini akan digunakan sebagai pemberat.

Sebelum Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang