tujuh

345 58 2
                                    

Setiap manusia memiliki luka di hati. Namun, tidak semua manusia mampu mengobatinya. Rasanya sulit, seperti terbelenggu oleh jutaan mata pisau. Entah kapan segala rasa sakit akan usai.

"Papa tidak peduli! Mau ditindas seperti apa pun, bagi Papa dia tetap pecundang! Papa jadi harus balik ke rumah, padahal lagi ada kerjaan di kantor!"

Dunia tidak selamanya terasa hangat. Dimas lagi-lagi tertipu. Di hadapannya sudah ada Papa dan Mama yang menatap penuh penghakiman. "Pa, poinnya bukan di situ. Papa gak paham!" Samudera yang berdiri di sebelahnya tampak menimpali penuturan Papa.

"Sam, kamu jangan ikut-ikutan. Gara-gara dia, kamu jadi gak fokus. Kamu ini kan mau ikut olimpiade dan lagi persiapan ujian akhir. Mending sekarang kamu balik ke sekolah, belajar, ayo Mama antar." Wanita itu menarik Samudera untuk mendekat padanya, tetapi usaha itu tidak berhasil karena Samudera menyentakkan tangannya sebagai penolakan.

"Mas, udah gak apa-apa." Dimas menengahi dan mengambil jeda untuk kemudian berkata, "Maafin aku, Papa, Mama. Aku udah banyak ngerepotin kalian. Mas Sam, sekarang balik ke sekolah, ya?"

"Aku mau di sini nemenin kamu, Dimas."

"Jangan. Mas harus belajar karena bentar lagi ada olimpiade dan ujian akhir. Jangan kayak gini, aku gak apa-apa." Pemuda itu menunjukkan lengkungan senyumnya.

Samudera tampak berpikir dan menimbang-nimbang. "Kalau ada apa-apa, bilang," ucapnya. Kenyataannya, ia memiliki banyak sekali urusan sesuai yang Mama katakan, selain itu ia ingin memberi sedikit pelajaran pada perundung adiknya.

"Iya, Mas. Hati-hati, ya." Meski berat, langkah Samudera perlahan menjauh dari mereka bertiga dan meninggalkan rumah itu. Sehingga kini tersisa mereka bertiga di dalam hunian tersebut.

"Papa gak ngajarin kamu jadi pecundang, Dimas. Apa semua didikan Papa selama ini kurang buatmu? Kenapa kamu gak bisa kayak kakakmu? Sana, masuk kamar."

Dimas mengangguk dalam dan berpamitan pada kedua orang tuanya untuk masuk ke dalam kamar. Sampainya di sana, ia langsung meletakkan tasnya di atas kursi belajar dan tidak lupa melepas jaket yang melekat di tubuhnya untuk disampirkan ke gantungan dinding.

Ia menatap pantulannya di cermin yang berada di hadapannya. Ia terlihat payah dengan banyak luka lebam hampir di seluruh tubuh. Perawakannya pun kurus dan ia merasa kerdil. Bahunya turun, seolah-olah terdapat ratusan beban di sana.

Air matanya berlinang dan langsung ia usap sampai tak bersisa. Akhirnya, ia kembali dipertemukan dengan tempat tidur dan memutuskan untuk berbaring di sana sampai terlelap.

Dimas terbangun seolah terkena sengatan listrik yang mengejutkannya. Ia tidak dapat melihat apa pun dan kesulitan untuk mengambil napas lantaran dihalangi oleh sebuah bantal yang terasa ditekan kuat oleh seseorang.

Ia berusaha untuk menyingkirkan benda itu dari wajahnya sekuat tenaga dan akhirnya berhasil meski ia sangat kesusahan pada awalnya. Pemuda itu terduduk di atas tempat tidur lalu mendapati Mamanya menatap bengis sambil memegang sebuah bantal di tangannya.

Ini ... percobaan pembunuhan?

"Mama ngapain?"

"Saya benci sama kamu, Dimas. Kehadiran kamu menghalangi rencana saya. Sebaiknya, kamu mati lebih cepat!" ucap wanita berambut sebahu itu.

Dimas kebingungan, ia turun dari tempat tidur dan membalas tatapan Mamanya dengan alis bertaut. "Maksud Mama apa?"

"Saya bukan Mama kamu!" Wanita itu menekan setiap kata yang ia ucapkan. Dimas menggeleng, kepalanya masih memproses apa yang sedang terjadi. "Rencana apa yang Mama maksud?"

Sebelum Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang