bit 07.3
Malam selalu punya cara sendiri untuk melempar Jeonghan kembali ke masa lalu.
Deras hujan yang mengiringi perpisahannya dengan sang kakak di kegelapan. Gemerlap bintang di langit pada pertemuan pertama mereka setelah entah berapa lama. Petang kemerahan yang melatarbelakangi kedatangan sosok agungnya pada setiap kunjungan malam. Sampai cahaya rembulan yang mengolok asa di hari tubuhnya di geret paksa juga atas perintah lelaki yang sama.
Nafasnya seolah hanya memiliki arti ketika matahari tak lagi berpijak di langit terang.
–
Setelah percakapan itu Sungcheol tak lagi datang menghampirinya selama hampir dua pekan. Jeonghan sadar ucapannya saat itu mungkin sudah kelewatan dan terdengar tidak tahu terimakasih, maka ia memutuskan untuk menulis sepucuk surat dan memohon ampun pada sang pangeran. Ia juga sampaikan kesiapannya untuk meninggalkan istana jika Seungcheol berkenan, terutama karena keadaanya telah membaik seutuhnya.
Namun balasan yang diterima Jeonghan membuatnya semakin bingung. Kasim Shim, pria tua yang dulu juga dikirim Seungcheol untuk menjemput jawabannya atas tawaran tinggal di istana, kini datang menyampaikan balasan dari permohonannya untuk meninggalkan istana.
"Yang mulia menunggu di kuil tenggara."
Ketika sampai di depan kuil, ia mendapati Seungcheol tengah menunggu dibawah pohon ginkgo. Ia tampak begitu tampan, dibalut pakaian sederhana tanpa jubah atau hiasan kepala khas kerajaan. Bahagiapun tersirat dari kilat matanya.
Jeonghan ingin merasa besar kepala, berpikir ialah alasan dibalik pesona riang yang dipancarkan sang kakak. Namun ia lekas menepis pikiran itu karena tersadar, kemungkinan berita baik yang ingin disampaikannya adalah kabar bahwa kerajaan telah menemukan calon pendamping yang tepat untuknya.
Dadanya bergemuruh. Dalam momen singkat itu, Jeonghan biarkan dirinya mengagumi keindahan di hadapannya. Ia tajamkan pandangannya yang sedikit buram, karena siapa tahu ini akan jadi kali terakhir mereka bisa bertegur sapa. Sejak awal, keputusannya untuk menjatuhkan hati pada sang kakak adalah sesuatu yang riskan dan teledor. Tentu Jeonghan yang pintar harusnya tahu batas.
Maka ia memantapkan dirinya untuk berbahagia.
Apapun yang terjadi, ia berjanji untuk turut berbahagia untuk sang kakak.
—
Mereka berakhir berdiri berdampingan di depan sesajian dengan jemari terpaut satu sama lain. Seungcheol awalnya berusaha untuk fokus sembahyang, namun akhirnya tergoda untuk menoleh ke arah pujaan hati yang masih tampak kuhsyuk. Cahaya lilin di genggamannya membingkai fitur wajahnya yang terpahat begitu sempurna.
"Aku harap setelah ini aku bisa membuatmu bahagia." Ia menggumam dalam hati lalu mengeratkan genggaman tangan mereka.
Jeonghan sontak menoleh dan tersenyum tulus, di benaknya juga menggaungkan doa yang serupa untuk sang pemimpin. "Tolong jaga dia untukku. Jangan biarkan malapetaka menyentuhnya."
Sekian menit selanjutnya, mereka hanyut dalam hening yang akrab. Katanya kesenyapan di antara mereka yang saling sayang akan selalu terasa menenangkan. Katanya tak perlu kata-kata untuk menumpas diam yang tercipta karena presensi satu sama lain sudah cukup riuh untuk memainkan volume debaran di dalam hati.
"Lihatlah langit malam ini. Sepertinya mentari sedang berada dalam suasana hati yang baik. Meski telah menghilang, sinarnya tetap menghiasi gelapnya langit dengan toreh kemerahan yang begitu cantik."
Jeonghan tiba-tiba memecah hening sambil menengadah ke langit. Tak menyadari tatapan lawan bicaranya tidak meninggalkan sosoknya sama sekali.
"Apa kau telah memaafkanku?" Seungcheol tiba-tiba bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Solar and Nameless Wildflower
FanficKatanya, yang pertama adalah yang tak akan terlupa. Seungcheol adalah pria pertama yang ia sayangi, kagumi, lalu cintai dengan arus dahsyat bagai badai yang mengamuk. Begitu heboh, kuat, memporandakan segala yang disentuhnya. - This fic includes his...