"I bought some pyjamas." Aku nyengir, ketika sampai di rumah dan ternyata tak sesuai susunan acara di kepalaku sendiri.
Aku kira Hans akan pulang paling tidak pukul tujuh malam, atau secepat-cepatnya mendekati angka jam 6 sore. Tapi ini bahkan baru pukul 16.37 dan dia sudah duduk di sofa, meski di tangannya ada iPad dan di hadapannya ada tumpukan kertas, hingga ... ada beberapa kertas di atas sofa sebelah pantatnya.
"Aku belum tanya ukuranmu dan aku tadi mau telepon, tapi takut ganggu, jadi—yeah, I lied. Sorry, aku emang nggak rencana beliin kamu, aku cuma ... yeah, kayaknya aku emang perlu pyjamas baru mengingat sekarang kita harus sharing kamar." Aku meringis. "Aku beli yang lengan dan celana panjang, karena aku nggak mau kamu usaha sendirian. If you know what I mean."
Kepalanya mengangguk.
That's it?
Aku masih diam berusaha mencerna reaksinya. Apakah dia marah karena aku tidak membelikannya pakaian tidur baru juga? Atau dia marah karena pulang kerja, sementara aku tidak ada di rumah? Jujur aja, aku belum memahami untuk keduanya ini. Kami justru lupa membahas tentang pulang-kerja. Apakah dia lebih suka melihatku ada atau tak masalah dengan apa pun keadaan di rumah.
Karena meski tidak memikirkan itu, sebetulnya aku nggak terlalu kejam atau tidak tahu diri. Aku sudah merencanakan seperti yang aku bilang tadi. Selesai memastikan rumah ini bersih dan wangi, aku memutuskan untuk keluar, makan, dan belanja pyjamas baru dengan alasan yang sama seperti yang aku jelaskan pada Hans. Aku hanya meleset di bagian jam pulang Hans yang ternyata mungkin tak menentu. Ke depannya, aku akan memilih menghubunginya agar—sebentar, Hans kembali mengangkat kepalanya, menatapku dalam kondisi iPad yang sudah dipangku terbalik.
Dia tersenyum. "Sendirian tadi?"
Aku mengangguk ragu-ragu.
Aku setuju pada pepatah yang bilang manusia adalah makhluk paling kompleks untuk dipahami dan mungkin tidak akan pernah bisa memahami sesama manusia seratus persen. Akan selalu ada bagian yang tidak kita mengerti dan mengejutkan. Tapi mungkin saja, justru itu menariknya dunia.
"Kamu mau aku lihat dan kasih komentar soal baju barumu?"
Eh?
Aku refleks menggeleng dan tersenyum kikuk, kemudian mengibaskan tangan. Mungkin mematungku tadi membuatnya merasa bersalah dan perlu memberikan tanggapan yang lebih lagi, padahal aku juga mematung sedang memikirkan perasaannya dan kemungkinan-kemungkinan buruk. Aku tak bisa menahan tawa geli menyadari betapa lucunya dua manusia asing tinggal di dalam rumah yang sama. Isinya adalah proses menebak seumur hidup—ralat, tidak seumur hidup juga, tetapi selama rencana kami. Eh, rencanaku.
Aku duduk di sebelahnya setelah memindahkan dua tumpukan kertas ke atas meja, lalu aku menatapnya dengan senyuman lebar. "Kayaknya Mas Hans kelihatan lebih punya hal serius buat dilakuin dibanding harus komentarin baju baruku." Cengiranku sudah sangat lebar, dia ikut tersenyum meski hanya 2% dari lebarnya senyumku. "Jadi, terima kasih tapi nggak perlu. Aku tadi cuma ngerasa sedikit ... apa yaaa, let's say bersalah? Takut Mas Hans marah karena pulang kerja aku nggak ada di rumah? Atau marah karena aku nggak beliin baju baru juga dengan alasan nggak hubungin kamu takut ganggu." Wajahnya terlihat sangat serius mendengarkanku, dengan mata yang berkedip—aku baru sadar setelah menatapnya dari dekat kalau kadang-kadang, kedipan matanya begitu cepat, lebih cepat dari aku mengedipkan mata saat normal.
"Aku ... nggak marah," ucapnya bingung. "Aku kelihatan marah?"
"Oh enggak!" Aku tertawa canggung. "Itu cuma asumsiku di kepala. Mungkin ini efek masih ... pelan-pelan harus saling kenal? Karena kita kayak roommate baru di awal kuliah."
KAMU SEDANG MEMBACA
this is what it feels like || tiwifl
RomanceKetika pepatah maya bilang; 'jangan pernah berhubungan dengan seseorang yang belum selesai terhadap masa lalunya', Rerey justru mempertaruhkan segalanya untuk membuktikan pepatah itu bukan untuk semua orang. Kalau pun hanya ada satu pengecualian, di...