Aku sudah siap dan sedang duduk cantik di kursi teras, menunggu Hans datang menjemput. Sebetulnya, dari tadi aku terus berpikir rencana kami ini—rencananya, begitu seharusnya menyebut momen ini yang tepat—masih bisa direvisi sedikit lagi. Karena sama sekali tidak efisien, terutama untuk kita yang tinggal di kota dengan kemacetan yang ... ergh, kata parah pun rasanya masih kurang.
Dibandingkan Hans harus membuang-buang waktu dan tenaga untuk perjalanan pulang, lalu kami keluar lagi, seharusnya akan lebih baik dan mudah kalau dia memberitahuku tempatnya, lalu aku ke sana dengan kakiku sendiri. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi, aku juga tadi hanya bungkam saat di hadapannya, jadi percuma semua ini muncul sekarang.
Wait a minute, aku berdiri dan mengecek sekali lagi pintu rumah sudah terkunci sempurna. Peringatan dari Hans tempo hari masih sangat terpatri di kepalaku, aku tidak mau melakukan kesalahan. Jadi, lebih baik mengecek berkali-kali daripada nanti aku menyes—oh, dia sudah datang! Aku menggagalkan niat untuk kembali duduk, melainkan langsung meraih handphone dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian segera berjalan menghampiri Hans yang sudah melewati pagar. "Haiii!" Senyumku lebar, aku juga melambaikan tangan antusias, terlalu bersemangat untuk makan siang di luar. Anyway, Hans harus terbiasa, pada akhirnya, kan? "Nggak perlu masukin mobil dulu, terus tutup pager lagi, panggil aku, tutup pager lagi. Aku bantu mempercepat dan mempermudah semuanya."
Kepalanya mengangguk, senyum simpulnya terbit. "Thank you," ucapnya pelan, lalu memberi gesture lewat tangannya agar aku berjalan lebih dulu ke mobil. Dia juga membukakan pintu untukku.
Momen yang paling aku sukai. "Thank you, Mas."
Hans mengangguk.
Aku memasang sabuk pengaman, sementara Hans kembali berjalan ke pagar untuk menguncinya, lalu melangkah lebar hingga akhirnya duduk di kursi pengemudi. "Mau putar lagu, Va?"
Aku menggeleng. "Mas Hans mau? Silakan."
Dia juga menggeleng. "Aku lebih suka denger suara orang di sebelah, kecuali sendirian."
"Oh, nggak ganggu konsentrasi waktu nyetir?"
"Enggak." Wajahnya terlihat bingung. Setelah berhasil keluar dari gerbang komplek dan belok ke kiri untuk jalanan lurus, Hans melirikku lagi. "Aku kelihatan keganggu kah?"
"Oh enggak, enggak!" Aku tertawa. "Kupikir, karena Mas Hans orangnya kayak ... apa yaa, deskripsi yang cocok? Kalau nature mungkin kayak desa-desa di Swiss, ya? Yang semuanya tuh suara alam, bukan berisik yang mengganggu. Kayak suara air sungai, burung, bunda dan daun yang kena angin, langkah kaki, gitu. Aduh freak banget aku jelasinnya, sorry."
Kepalanya menggeleng, dia tertawa pelan. "Aku nggak tahu deskripsiku bisa jadi sebagus itu. Thanks, ya."
Aku tersenyum lebar, menganggukkan kepala.
"Aku mungkin kurang aktif ngomong atau nggak seru kalau diajak ngobrol, tapi aku suka banget dengerin orang cerita, Va. Jadi aku harap, kamu nggak merasa dicueki, aku dengerin semua kata-katamu dan aku inget tiap emosimu untuk tiap kalimat."
Aku menganga.
Saking merasa aneh dengan kata-katanya barusan, aku memutuskan untuk menghadap ke depan, memangku tangan di paha. Aku tidak tahu, kenapa dengan Hans, terkadang seolah ada tombol rem otomatis untuk tidak sembarangan bersikap dan berucap. Seperti kali ini, alih-alih aku akan bereaksi tanpa berpikir, semuanya justru hanya ada di kepala dan mulutku terkatup rapat. Yang membuat khawatir bukan karena aku tersinggung dengan kata-katanya, tetapi ... seharusnya dia tidak mengatakan itu untuk hubungan kami yang seperti ini. Aku mendengarnya seperti ... kalimat yang dikeluarkan dari mulut lelaki yang sangat mencintai istrinya, mereka hidup bahagia dalam pernikahan penuh cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
this is what it feels like || tiwifl
RomanceKetika pepatah maya bilang; 'jangan pernah berhubungan dengan seseorang yang belum selesai terhadap masa lalunya', Rerey justru mempertaruhkan segalanya untuk membuktikan pepatah itu bukan untuk semua orang. Kalau pun hanya ada satu pengecualian, di...