Ketika orang bilang hidup tak pernah adil, aku selalu menentangnya dengan semua hal-hal baik yang ada di kepalaku, yang ada di keseharianku sebagai bukti yang kusodorkan. Aku percaya setiap manusia memiliki sisi baik dalam hidup, mereka hanya tak menunjukkannya sebanyak yang dia lakukan pada sisi buruk kehidupan.
Dulu.
Aku yang dulu.
Sekarang, entah sepadan atau tidak untuk membandingkannya, rasa-rasanya aku akan menarik semua kenaifanku dulu dan dengan tegas mengangguk setuju; ya, hidup tak adil. Terkadang atau selalu.
Aku ingin tetap menangis di dalam kamarku yang nyaman, tidak perlu melakukan apa pun. Bergelut dengan selimut, membasahi bantal dengan air mata, sibuk mengeluarkan kata-kata untuk membenci laki-laki itu, baik di dalam hati maupun bersuara. Aku tidak ingin dan tidak harus berpura-pura baik-baik saja, memasang senyum di hadapan Mama-Papa seperti yang sekarang aku lakukan ketika keluar kamar Mama dan beranjak ke kamarku, aku menemukan Hans yang baru selesai naik tangga. Sebelum dia menyadari apa pun, aku langsung memberinya senyuman lebar. "Hai, Mas. Udah selesai ngobrol sama Papa?"
Kepalanya mengangguk. Dia terlihat sedikit bingung dan aku khawatir itu karena dia menyadari wajahku yang berbeda. Mungkin masih ada sisa air mata, mungkin kedua mataku sedikit bengkak atau mungkin pipiku memerah karena amarah dan tangis, aku tidak tahu. Tapi aku tidak mau menebak-nebak dan justru memberi jalan pada kesimpulan untuk Hans, aku tetap memasang senyum sambil menunggu jawabannya. "Aku pikir kamu udah tidur, Va."
"Oh, aku abis dari kamar Mama."
"How do you feel now?"
Aku terdiam beberapa detik, belum siap menjawab langsung hanya untuk menimbulkan masalah baru. Entah ini momen yang tepat untuk membahas tentang Danar dengan gamblang bersama Hans atau tetap memilih menyisihkannya jauh-jauh dari kehidupan indah milik Hans. Rasanya berdosa sekali kalau harus memberi konflik murahan untuk kehidupan Hans yang mulus.
"Va? Kamu dan Mama belum baikan seratus persen?"
"Ah!" Aku tertawa pelan, dalam hati menertawakan diriku sendiri. Betapa mirisnya, dari sekian banyak hal yang sedang aku jalani dalam hidup, fokusku hanya tentang laki-laki tak baik itu. Padahal, berangkat ke sini pun, aku dan Hans dengan rencana matang untuk menyelesaikan masalah, tetapi bisa-bisanya aku berpikir pertanyaannya tadi tentang Danar. Shame on me. "Bukan, Mas. Mama udah maafin aku dan aku bisa ngerasain itu. Aku sama Mama tadi ngobrol lagi, rasanya kayak udah lamaaa banget aku nggak ngobrol berdua. Mama selalu bisa jadi teman ngobrol yang seru, Mas."
Hans tersenyum, lalu menganggukkan kepala. Kakinya melangkah lagi, lalu entah dia menyadarinya atau tidak, sebelah tangannya melingkar di pinggang dan seolah mengajakku untuk masuk ke dalam kamar, tanpa suara. Aku menggerakkan kaki mengikuti insting, terus berjalan sampai ke kasur, dan duduk di pinggirnya. Melihat Hans yang terus melangkah memasuki kamar mandi.
Dia mungkin akan menggosok gigi, membersihkan wajahnya, atau apa pun. Sementara aku sudah melakukan itu sebelum memutuskan untuk ke kamar Mama. Aku tidak yakin akan kembali membasahi wajahku demi menghapus air mata malam ini atau memilih langsung merebahkan diri di atas kasur. Tapi sepertinya, ide kedua lebih masuk akal dan menarik.
Aku masih sadar ketika Hans keluar dari kamar mandi dan melihatnya merebahkan tubuh di sebelahku. Tidak pura-pura menutup mata, aku juga terang-terangan menatapnya dan tersenyum simpul sembari berbaring miring dengan sebelah tangan menyangga kepala. "Kamu udah ngantuk, Mas?"
"Belum terlalu. Gimana, Re?"
Aku refleks tertawa. "Belum terlalu? Jawaban abu-abu, yaaa."
Dia tidak menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
this is what it feels like || tiwifl
RomanceKetika pepatah maya bilang; 'jangan pernah berhubungan dengan seseorang yang belum selesai terhadap masa lalunya', Rerey justru mempertaruhkan segalanya untuk membuktikan pepatah itu bukan untuk semua orang. Kalau pun hanya ada satu pengecualian, di...