tiwifl || 31

1.6K 314 15
                                    

"Aku penasaran apa yang ditawarin sama kamu sampai kamu mau sejauh ini? Atau kalau memang nggak ada penawaran apa pun, aku beneran kagum sama gimana menerimanya kamu dalam hidup."

Aku mengeluarkan tawa pelan, tidak ingin memberi kesan terlalu serius untuk percakapan kami ini, meski sebenarnya aku mau ini juga menjadi obrolan tengah malam yang sungguh-sungguh.

Lalu, bagaimana mungkin, tatapan yang beberapa waktu ini selalu aku lihat dan dengan sadar aku deklarasikan tidak ada yang spesial darinya, sekarang mendadak membuat perutku melilit. Tidak yakin ini karena rasa takutku akan melencengnya isi obrolan kami ke arah hal yang aku sembunyikan, atau jangan-jangan ... Hans sudah mulai mengambil peran di dalam hidupku. Aku menggeleng cepat di dalam hati, tidak siap dengan apa pun kemungkinan yang terjadi. Yang paling mengerikan, perasaan cinta yang mungkin datang tanpa aku sadari, saking tenangnya hubungan kami, saking nyamannya lingkungan yang berusaha Hans beri. Tidak ada kembang api yang mengiringi, tidak ada puisi-puisi yang mewakili. Dia nyaris terlihat tidak melakukan apa-apa.

Buruknya, kalau itu beneran terjadi hanya pada diriku, sementara tidak ada perubahan apa pun di dalam diri Hans. Dia masih dengan pesimisnya tentang cinta–-aku tidak yakin boleh menyebutnya pesimis atau dia memang kalem saja dalam memandang cinta. Masih dengan santainya dalam menjalani hidup dengan ketidakberatannya menjalani hari-harinya bersamaku.

Membayangkannya pun mengerikan.

Cinta berbalas dan sama besarnya saja bisa berakhir seperti aku dan Danar, tidak terbayang bagaimana besarnya luka dari cinta sendirian.

Aku tidak boleh mencintai Hans.

Aku tidak boleh memiliki perasaan selain kesediaan untuk hidup bersamanya. Itu tidak akan membuatku terluka.

Lagipula, aku tidak yakin aku sudah tidak mencintai Danar sebesar apa pun rasa benciku untuknya. Kesimpulannya jelas, kita tidak pernah bisa dan tidak diizinkan mencintai dua orang sekaligus, kan?

Menariknya, dari lamanya momen aku sibuk dengan isi kepalaku sendiri, aku pikir itu digunakan Hans merangkai kata-kata menjadi kalimat untuk menjawab pertanyaanku tadi. Nyatanya, dia hanya memberiku tawa yang terdengar sangat tulus. Tulus yang aku maksud, aku tidak merasa dia menertawakanku.

"Is that it?"

"Apa?"

"Jawaban buat pertanyaanku."

"Aku belum nemu jawaban yang menurutku sesuai buat pertanyaanmu tadi. Nanti kalau udah ketemu, I'll let you know."

Kini gantian aku yang tertawa. Sama dengannya (sekali lagi, dalam asumsiku), aku pun tidak berniat menertawakanya. Tawaku tadi refleks keluar karena aku merasa dia lucu in a good way, obviously. "Udah mulai pegel belum?"

"Belum kerasa."

"Apa karena kamu lumayan rajin olahraga, ya, Mas?"

"Lumayan." Dia memberi jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan. "Pemilihan kata yang menarik buat nentuin iya atau enggak sama sekali." Menyetujui kalimatnya, aku mengangguk pelan sambil menahan senyum. "Aku boleh nanya sesuatu, Re?"

"Boleh dong."

"Menurutmu, seseorang beneran bisa sembuh dari luka atau sebenernya cuma karena berlalu gitu aja?" Damn ... laki-laki ini, Hans Iravan, seberapa banyak dia menyimpan kalimat atau pertanyaan yang seolah tanpa niat membuat termenung. "Sama kayak luka fisik, kita kegores atau apa, itu beneran sembuh dalam definisi luka itu ilang seolah nggak pernah ada atau cuma karena ada kulit baru yang gantiin luka itu?"

"Tapi ini bukan tentang luka fisik."

"Yes," lirihnya, terdengar sangat yakin.

"Aku ... nggak yakin bisa kasih jawaban memuaskan." Tawa canggungku akhirnya keluar. "Apakah aku punya kapasitas buat kasih jawaban pertanyaan brilian ini, tapi ... wait a minute." Aku menarik diri berusaha bisa menatap matanya. "Aku nggak pernah kepikiran ini sebelumnya." Senyum lebarku muncul, Hans masih menatapku dengan serius. "Ummm ... kalau definisi sembuh itu kayak yang kamu bilang, bikin seolah luka itu nggak pernah ada, kayaknya enggak bisa?" jawabku tak yakin. Aku sungguh merasa tidak berkompeten menjadi partner diskusi kali ini. "Atau mungkin, tiap orang punya kaca mata berbeda buat lihat dan nentuin sembuh itu sendiri."

"Dan kacamatamu?"

"Kacamataku ... sembuh itu bisa menerima luka itu sendiri, nggak menyesali harusnya dulu gini-gitu, terus nggak menyalahkan diri sendiri juga. Nerima, bahwa apa pun yang terjadi ada alasannya dan nggak semua alasan itu menguntungkan kita. Jadi ... sembuh adalah ketika kita siap lanjutin hidup tanpa perlu berusaha hapus atau ubah masa lalu." Itu artinya, Rey, kamu belum sembuh, tidak pernah sembuh dari luka masa lalumu itu? Gimana bisa kamu ngoceh panjang lebar di saat kamu sendiri masih terus tenggelam? Aku buru-buru memasang senyum untuk Hans. "Gimana sama kamu, Mas?"

Dia diam sekitar tiga detik, kemudian membuka mulutnya. "Buatku, kita nggak pernah bisa beneran sembuh dari luka batin." Seperti biasa, kami memiliki pandangan yang berbeda. Meski herannya, aku jarang merasa kesal dengan perbedaan itu. Termasuk untuk hal ini, aku begitu penasaran mendengar selanjutnya. "Sembuh buatku, artinya udah nggak ada luka itu lagi, kita udah nggak bisa inget rasa persisnya. Yang bisa diinget cuma secara blur; sakit banget kena pisau. That's it. Kalau mau tau rasanya, harus kena pisau lagi." Hans tertawa pelan, aku pun tertular. "Sementara luka batin, kita cuma bisa terbiasa, lanjutin hidup sampai bisa bilang 'semua berlalu'. Kalau ada sesuatu di masa depan yang trigger luka itu, kita masih inget sakitnya, rasanya, omongannya, tatapannya. Trauma apa pun itu. Keluarga, percintaan, persahabatan. Makanya psikolog nggak pernah menjanjikan atau kasih jaminan sembuh ke pasiennya, tapi akan bantu mengatasi masalah."

Aku sudah tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang yang terlihat, yang jelas aku memandang penuh kagum. Mungkin tidak ada yang benar dan salah dari pendapat kami berdua, tetapi pendapatnya selalu menarik untukku. Beda yang dia tawarkan tak pernah terasa mengancam, justru memberi pengetahuan baru yang berwarna.

"Jadi menurutku, manusia nggak perlu maksa dirinya merangkak buat ke garis sembuh. Ketika ada sesuatu yang ngingetin dia sama luka itu, nggak apa-apa buat kembali inget rasanya, buat ambil waktu nenangin diri. Yang nggak boleh menurutku lari ke lubang masa lalu itu."

Hah!

Apa ini?

Tiba-tiba aku merasa mataku sangat panas dan sebelum mengeluarkan air mata, aku pura-pura tertawa pelan sambil mengusap mata. Kemudian aku tatap Hans lagi dan tanpa sadar memberinya tepuk tangan pelan. Entah apa yang dia tangkap dari reaksiku barusan, aku sendiri pun tidak punya penjelasan, selain kata-kata, "Kamu selalu bikin aku kagum, Mas."

"Kamu juga sama."

Aku mengerutkan kening.

Dia tersenyum simpul. "Kita punya banyak perbedaan di setiap kesempatan kita ngobrol dan aku belum pernah lihat kamu sebel atau pura-pura setuju dari ekspresimu."

Ha! Aku bahkan tidak menyadari itu. Okay, aku sadar kami berbeda di beberapa hal, tetapi tidak menyangka dia sampai berpikir ke sana. Aku merasa sedikit keren. Tetapi rasa keren yang sebesar kotoran hidung tadi secepat kilat berubah menjadi sedih setelah mendengar kalimat lanjutannya;

"You're a very lovely woman, Va. Kamu berusaha nunjukkin ke sekitarmu kalau kamu menghargai mereka dan perasaan mereka. Kamu perhatian sama orang yang bahkan nggak kamu mau, aku kadang penasaran gimana sikapmu ke orang yang kamu pilih kalau ke aku aja kamu semanis ini?"

Dia mengatakan semua itu ... di saat aku menyakiti Mama dan Papa Amar dan berusaha membuat mereka jatuh dengan merasa bukan siapa-siapa. Dia mengatakan semua itu ... di saat aku juga pernah menyusun rencana keji untuknya di pernikahan kami. Lalu dari mana dia bisa menilai aku adalah 'lovely woman' dan orang yang menghargai dan penuh kasih pada orang lain?

Perasaan keren tadi kini sudah sepenuhnya berubah menjadi perasaan bersalah dan merasa sangat buruk.

Aku mengangkat pandangan ke arahnya ketika merasa sentuhan di pipi.

"Kalimatku nyakitin kah?"

"Oh!" Aku mengusap mata, menggeleng sambil tersenyum. "Aku nggak tahu harus jawab apa, terharu."

Tak ada lagi yang mengeluarkan suara, tak ada juga yang mengalihkan pandangan. Begitu pun Hans, jemarinya belum berhenti mengelus pipiku, dia malah menambah letusan roket dengan mengeluarkan pertanyaan, "Boleh?"

Seolah tak perlu memastikan apa yang boleh dan tidak dari maksud satu katanya itu, aku dengan menyedihkan segera menutup mata.

Apakah ini yang aku tunggu-tunggu?

Sampai kah aku pada puncak penantianku yang diam-diam itu?



---

semoga suka, muach! di KK sudah sampai bab tamat, yaaa.

this is what it feels like || tiwiflTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang