tiwifl || 36

1.5K 309 27
                                    

Rasanya, dunia beneran tak pernah bisa dimengerti, dan memang manusia tak seharusnya muluk-muluk ingin memahami cara kerja dunia.

Betapa cepat segalanya berbalik sekejap mata. Aku bahkan masih ingat betapa pongahnya diriku di awal pernikahan ini dengan tujuan utama untuk menyerang Mama-Papa, membuktikan sesuatu yang sama sekali tak perlu. Padahal, kalau memang dari awal aku tidak ingin mereka menang, tidak ingin pernikahan ini terjadi, aku bisa berjuang sekuat tenaga untuk membatalkan pernikahan. Bukan bekerja keras setelah semuanya terjadi. Sekarang, aku merasa seolah-olah Hans sedang berusaha mendorongku menjauh tanpa membuat tangannya menyentuhku. Dia ingin aku pergi dengan sendirinya.

Yang membuat miris dari semua ini adalah kegigihanku untuk bertahan. Bukankah seharusnya ini merupakan pintu emas untukku? Aku tidak perlu merasa menyakiti Hans padahal sebenarnya itu bentuk egoisku sendiri karena khawatir menjadi orang jahat di saat kenyataannya memang demikian.

Atau sebenarnya ...

Semua ini sangatlah sederhana; aku sudah terjatuh ke dalam lubang yang selama ini berusaha aku hindari. Aku sudah merasa nyaman duduk di kursi yang sebelumnya terlihat sangat buruk di mataku. Aku sudah mulai menikmati makanan-makanan yang nampak baru itu. Aku sudah mengubah pandanganku terhadap pernikahan ini, terutama setelah hidup bersama laki-laki itu dan menyadari dengan sendirinya betapa dia berhak untuk mendapatkan kesempatan dari awal. Aku tahu terasa tak bermoral ketika mengatakan manusia sebagai sesuatu untuk dipilih, tetapi Hans sungguh berhak menjadi pilihan terbaik di saat pilihan lain adalah seburuk Danar.

Tidak.

Itu tidak adil, aku membandingkan dua manusia dengan cara tidak adil. Danar sama sekali tidak layak dibandingkan dengan Hans. Sama saja aku merendahkan Hans.

"Kantornya yang mana ya, Bu?"

"Kantor suami—ah, gedung ABCD yang di sebelah kanan itu, Pak. Di sebelah bank Megi."

Aku mengembuskan napas panjang begitu mobil kami memasuki area tempat kerja Hans. Setelah mobil benar-benar berhenti di depan lobby, aku mengucapkan terima kasih pada sopir taksi online, lalu turun. Buru-buru menarik napas karena mendadak merasa sangat gugup seolah ini kali pertama aku bertemu Hans. bahkan dulu aku tak merasakan apa-apa saat kali pertama melihat matanya atau pun berada di satu kamar dengannya.

Sekarang bukan hanya kepalaku yang penuh dengan pertanyaan dan pertimbangan ini-itu, tetapi di dadaku pun rasanya diisi dengan penyesalan.

Aku disambut oleh salah satu security dengan begitu ramah dan setelah memberi tahunya tujuanku datang ke sini, dia berbincang pelan dengan resepsionis yang kemudian memberinya anggukan mengerti. Dengan cekatan tangannya meraih telepon dan aku menebak dia sedang menghubungi Hans, siapa pun yang jelas berhubungan dengan Hans. sementara security dengan nama Dedi di papan namanya ini sedang membawaku ke lantai lima—sesuai dengan informasi yang diberikannya—di mana ruangan Hans berada saat ini.

Entah ini menjadi ironi kehidupan lainnya atau gimana, di saat di luaran sana ada begitu banyak perayaan sederhana dan mewah tentang kebahagiaan pasangan, anniversary pernikahan, tangis haru kelahiran anak pertama dan seterusnya, merayakan ulang tahun anak, dinner keluarga, tetapi di sini, di tempat kakiku memijak, ada layanan khusus untuk mengurus semua yang berhubungan dengan hukum keluarga; perceraian, hak asuh anak, kekerasan dalam rumah tangga, gono-gini, hak waris. Entah apa lagi.

Bukankah keluarga harusnya sesuatu yang hangat dan manis?

"Mari, Bu, saya antar ke ruangan Pak Hans." Sambutan ramah lain kali ini datang dari seorang perempuan modis dan cantik.

Aku memberinya anggukan dan senyuman, lalu mengucapkan terima kasih pada Pak Dedi atas bantuannya. "Biasanya kalau makan siang, Hans lebih suka keluar atau pesen, Mbak?"

this is what it feels like || tiwiflTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang