tiwifl || 05

2.7K 522 25
                                    


"Aku mungkin emang nggak bisa mau lawan kamu soal masak, tapi aku bukan pemalas. I loooove learning. Kamu boleh tanya Mama dan Papa Amar how good my iced coffee is. Laluuuu, aku juga suka masak, bikin kue, anything I can do in the kitchen." Aku masih sibuk dengan tawa dan penjelasan untuk Hans yang terlihat sangat serius menyimak. When is he not being serious anyway? Aku mengangkat kepala sambil mengepalkan tangan untuk memberi penekanan yang kuat pada kalimatku berikutnya. "I looooveee being a woman. Selain di beberapa hal yang kadang aku ngerasa nggak adil, tapi aku beneran bersyukur sebagai perempuan yang menikmati semua keindangan. Like you said, my phone case, iPad case, semuanya. Lalu ternyata, ada privilege lain yang aku dapet, yaitu stay di rumah."

"Nggak ngerasa bosen?"

"Nope." Aku menggeleng-gelengkan kepala, sekarang tanganku sambil sibuk menuangkan cinnamon powder di atas es kopi buatanku. "Terlalu banyak hal yang bisa aku lakukan di rumah dan aku nggak pernah bosen kalaupun harus lakuin hal yang sama seumur hidup. Kamu nggak ngerasa aku mengerikan, Mas?"

"Untuk apa?"

"Karena kamu suamiku sekarang, mungkin orang tuaku juga berharap kamu yang akan hidupi aku. Money. Well, mereka masih selalu kasih aku uang, aku tahu, tapi mereka nggak tahu obrolan serius kita tentang pernikahan ini kemarin, kan?"

Kepalanya mengangguk. "Aku tanggung semuanya."

Aku tersenyum lebar. "Thank you. Tapi firasatku nggak lama kok, semoga yaaa. Jadi kamu juga nggak investasi bodong lama-lama. Yaaa anggap aja, selama kamu keluarin uang buat aku, itu buat bayar orang yang nunggu rumahmu ini."

"Kamu nggak butuh ART?"

Aku menggeleng tegas. "Aku mau urus semua sendiri, semampuku, selama aku di sini. Boleh, kan?"

Kepalanya mengangguk.

"Here's your iced coffee. Cobain." Aku memperhatikan Hans yang mulai memasukkan sedotan stainless itu ke dalam mulutnya. Aku yakin kopi dan susu itu sudah memasuki tenggorokannya dan mungkin juga sudah sampai di lambung atau usus? Aku tidak terlalu yakin aku lumayan pintar soal itu, sepertinya malah buruk sekali. Yang aku maksud adalah ... aku tidak melihat ada perubahan ekspresi dari wajahnya. Bahkan kerutan sedikit di kening atau alis pun tidak. Mencengangkan, lumayan. "Gimana, Mas? Oh aku bukan tim yang akan sakit hati kalau kamu kasih kritik dan saran, I'm open to any feedback or criticism."

"Ini Enak."

"Enak gimana?" Aku menatapnya bingung. "Mas Hans, ada berjuta arti enak untuk sebuah makanan dan minuman. Kamu bisa bilang enak ketika nggak mau nyakitin orang, kamu bisa bilang enak ketika makanan dan minuman itu cukup bisa diterima lidah, atau kamu bisa bilang enak karena memang rasanya enak. Which is yours?"

Sudut bibirnya terangkat sedikit, benar-benar bahkan belum layak disebut sebuah senyuman tipis. Entah apa aku harus memberi nama untuk gesturnya itu, pengelola Kamus Besar Bahasa Indonesia mungkin akan bekerja untuk ini, nanti. Ketika aku mengirimkan masukan untuk memperluas kosa kata dan frasa. "Ini rangkuman semuanya," jawabnya tenang.

"Aku nggak akan sakit hati kalau kamu jujur sama rasanya dan punya pendapat lain. Jangan karena aku tadi jelasin dengan bangga gimana Mama dan Papa Amar suka es kopi susu buatanku, kamu jadi ngerasa perlu setuju juga."

Dia menatap gelas itu sambil mengaduknya pelan, kemudian mengarahkan pandangannya untukku lagi. "Aku nggak suka cinnamon."

"What?"

"Tapi aku—"

"No no, reaksiku tadi bukan buat nyerang kamu yang nggak suka cinnamon. Tapi ... gimana kamu bisa santai minum itu kalau kamu nggak suka? Kamu minum nggak sedikit, lho." Aku terkikik geli ketika melihat setengah gelas yang tersisa. Memang es batu mengambil persentase paling banyak di gelas itu, tapi tetap saja, dia minum tak bisa disebut sedikit. "Kamu kalau nggak suka tadi nggak pa-pa, biar aku yang minum."

this is what it feels like || tiwiflTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang