tiwifl || 29

1.8K 345 9
                                    

"Rey, tunggu dulu!"

Dia berhasil menahan pintu yang akan aku tutup tanpa memberinya jawaban apa pun. Tidak berupa kata-kata atau pun gestur meski hanya anggukan kepala. Aku tidak mau berkomunikasi dengan laki-laki ini seumur hidupku ke depannya. Dalam jenis komunikasi apa pun. Bahkan kalau bisa, aku juga ingin kami dipisahkan dari bumi yang sama. Kalau bisa, aku tidak mau menghirup oksigen yang sama dengannya.

Sebesar itu aku membencinya.

Sedetail itu aku mengingat setiap kata yang dia ucapkan, setiap rasa yang dia sebabkan, dan setiap penderitaan yang berusaha aku lalui setelahnya.

Dia mungkin punya begitu banyak distraksi di negara orang sana atau negara barunya aku tidak tahu apakah dia masih menjadi warga negara Indonesia atau sudah memilih untuk benar-benar pindah. Aku tidak peduli.

Tapi aku tidak punya.

Semua yang ada di sini mengingatkanku padanya, pada kami. Setiap apa yang familiar untukku, itu karena kami melaluinya, mendatangi tempatnya, mencoba makanannya, membicarakannya, memimpikannya.

Aku sangat berhak untuk merasa yang paling tersakiti, aku sangat berhak untuk mengatakan dengan keras bahwa aku korban di sini, dan aku sangat berhak untuk tidak pernah melupakannya, tidak pernah memaafkannya. Aku percaya, kita tidak pernah bisa memaafkan apa yang tidak bisa kita lupakan. Aku tidak rela memaafkannya seumur hidupku, meski artinya aku tidak akan pernah melupakan dirinya serta luka apa-apa saja yang sudah dia lakukan padaku.

"Kamu salah rumah." Tiga kata yang akhirnya mampu aku ucapkan setelah merasa cukup meyakinkan diriku betapa manusia ini mengambil peran begitu banyak dalam menyakiti.

Kepalanya mengangguk. Sekali lagi, sepertinya dia mengerahkan banyak tenaganya untuk tetap menahan pintu ini sehingga aku tidak mampu melakukannya. Memberi kami berdua jarak untuk tidak saling melihat. "Sejujurnya aku ke sini buat nemuin Tante Shintya."

Aku menertawakannya. Semuanya. Setiap kata-kata yang bibir itu ucapkan. Begitu pun dengan ekspresinya yang seolah merasa diperlakukan buruk sebagai tamu. Aku tidak mengakuinya sebagai tamu di sini, di mana pun, dan sampai kapan pun.

"Aku cuma mau nepatin janjiku ke Mamamu, Rey." Dia mengangkat paper bag di tangannya.

Sementara aku berusaha mencerna kalimatnya. Berharap aku salah mendengar. Tetapi ketika dia tidak terlihat akan meralat, aku simpulkan dia sungguh-sungguh ketika mengatakan 'menepati janji'. Rasanya sangat konyol, menjadi lelucon terbaik tahun ini. Untuk itu aku tertawa cukup kencang. Entah dia menyadari ucapannya atau dia memang manusia yang tak pernah bisa berpikir dengan baik. Menepati janji katanya? Menepati janjinya ke Mama? Lalu bagaimana dengan janjinya padaku? Bagaimana dengan semua mimpi yang kami bangun berdua? Bagaimana dengan kata-katanya yang meyakinkanku bahwa kami berdua akan sampai di titik yang kami perjuangkan?

"Reva?"

Suara itu membuatku menghentikan tawa dan membersihkan tenggorokan. Aku tidak mau lelaki sesuci Hans melihat manusia menjijikkan di depanku ini, tetapi aku tidak memiliki kesempatan untuk menutup pintu sejak tadi. Berujung aku hanya bisa meminta maaf pada Hans karena membuatnya harus melihat penyakit dalam wujud manusia.

"Ada tamu?"

"Ya!" Aku tertawa, menyambut suamiku, kemudian menggandeng lengannya dan tersenyum lebar pada lelaki yang aku harapkan musnah dari dunia ini. "Bukan tamu, lebih ke orang salah alamat, Mas. Dia anter paket dan ketuker nomornya. Orang di sebelah.."

Hans terlihat bingung menatapku dan orang di depan kami, meski pada akhirnya dia mengangguk juga.

"Silakan ke sebelah, Mas." Aku memasang senyum terbaik dan terburuk—karena pura-pura—yang aku bisa, kemudian menutup pintu dan diam-diam menahan napas sejenak. Sebelum berbalik untuk menatap Hans, aku mengembuskan napas panjang. "Maaf, aku lama, ya?"

this is what it feels like || tiwiflTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang