tiwifl || 11

2.1K 470 29
                                    

Selama ini aku tahu bahwa setiap orang punya cerita. Yang di dalamnya tentu saja bukan hanya ada kemudahan dan kebahagiaan, tapi juga dilengkapi dengan perjuangan yang mungkin berdarah-darah. Tapi sekarang, aku jadi bukan hanya tahu, tetapi juga memahami karena melihatnya sendiri, bagaimana anak-anak bisa tumbuh di tengah beragam budaya keluarga.

Aku belum tentu sekuat Bagas harus dititipkan ke Omnya ketika kedua orangnya pergi untuk bekerja. Yang janjinya satu minggu ternyata harus memperpanjang waktu pergi, melipir di tempat lain. Tapi menariknya, semua nampak biasa untuk Bagas. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang butuh atau minta dikasihani.

Ternyata benar, ya, segala sesuatu memberi pelajaran.

Hidup dengan Hans yang mungkin hanya akan sementara sudah berhasil membuatku merasakan begitu banyak jenis emosi, membuatku berpikir lebih jauh, bukan hanya pasrah dan ikhlas.

Aku tidak tahu, pelajaran ini baik atau justru sebenarnya harus aku hindari.

"Kak?"

"Oh, sorry, sorry." Aku menggosok wajah dengan sebelah tangan kiri yang bebas, lalu menoleh pada Bagas untuk memberinya senyuman lebar. "Kamu tadi ngomong apa, Gas? Maaf banget, boleh diulang lagi?"

Dia tertawa pelan. "Lagi nggak enak badan, ya?"

"Enggaak, bukaan." Aku ikutan tertawa. "Tadi ngelamun, kepikiran ... apa, yaaa, masa depan."

Tawa Bagas keluar lagi. "Tapi Kak Reva dari pagi tadi waktu anterin aku sekolah emang keliatan nggak fit sih."

"Ohya? Aku malah ngerasanya baik-baik aja, lho."

"Mungkin fisiknya Kakak ngerasa baik-baik aja, tapi aku sadar kok Kak Reva sering diem gitu, kayak ngelamun."

Aku nyengir lebar. "Aku cuma ... kepikiran Mas Hans."

"Kalian berantem?"

"Oh bukan, bukaan." Jangan sampai anak sekecil dia menerima cerita yang buruk tentang pernikahan, aku tahu aku tidak boleh menambah daftar korban atas kejahatanku. Apalagi anak kecil. Tapi mirisnya, justru anak kecil inilah yang sekarang menjadi temanku ngobrol, hari ini. Tidak, beberapa hari ini. "Kamu ngeliat Mas Hans, Om-mu, sebagai orang yang gimana, Gas?"

Dia tersenyum. "Apanya? Aku nggak paham, sorry."

Oh damn, aku menepuk keningku sendiri. "Menurutmu dia orangnya gimana?"

"The best uncle in the world." Tentu saja, satu-satunya paman yang dia punya dan Bagas juga merupakan satu-satunya keponakan yang dimiliki Hans. "Om Hans tuh emang kayak orang yang nggak peduli, dia bahkan nggak nanya apa kabar kalau aku ke sini, tapi dia setiap abis sholat isya itu selalu ke kamarku, kadang bawa chiki, ajak main game, nonton, atau cuma manggil abis itu tutup pintu." Bagas tertawa bersamaku. "Kadang juga masuk cuma bilang; besok kita lihat Arema Vs Persija, ya, Gas."

"Di stadion langsung?"

Dia mengangguk. "Kalau soal nonton bola, aku lebih sering sama Om timbang Papa, Kak. Soalnya Papa nggak suka bola. Kalau Om, kan, malah kadang ke luar negeri buat nonton bola, jadinya ya nggak lama di sana, dia juga sibuk."

"Itu kenapa kamu sama dia akrab banget dan kamu keliatan betah tinggal sama dia, meski itu artinya Papa-Mamamu lama di luar kota."

Bagas terkekeh. "Udah biasa, Kak. Kakak kata Mama anak tunggal, yaa? Sama kayak aku?"

"Betuuul." Aku mengangguk dan tertawa, menyodorkan kepalan tangan kiri untuk high five. "Kita senasib."

"Tapi punya temen banyak nggak?"

"Banyak sih enggak, tapi aku punya beberapa. Kamu punya banyak temennya, ya?"

Kepalanya menggeleng. Seketika hatiku tersentil. "Aku punya cuma dua di sekolah yang sekelas, tapi itu juga udah cukup sih. Bisa buat belajar bareng, main bareng kadang setelah sekolah. Yang lain soalnya mainnya terlalu ... apa, ya?"

this is what it feels like || tiwiflTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang