tiwifl || 18

2.3K 382 27
                                    

Aku langsung memasang senyum terbaik yang aku punya ketika melihat Hans yang menghentikan langkah, tangannya yang tadi sibuk memasang kancing di ujung lengan kemeja, sekarang sudah jatuh di sisi tubuhnya. Dia membalas tatapanku, tetapi tidak dengan senyuman yang sama, aku malah melihat keningnya sedikit berkerut dan dan dia menelengkan kepala sedikit.

Apa yang membuatnya terlihat bingung?

"Good morning, aku harap badanmu udah membaik?" tanyaku ragu. Melihat dia berdiri dengan pakaian rapi dan formal, aku tahu sendiri jawabannya, sebetulnya. "Anyway, kopi buatmu, Mas. Pure kopi."

Barulah sekarang dia memasang senyum, meski tak selebar senyumku. Aku yakin, di dalam kehidupannya, dia memiliki takaran dan parameter untuk segala hal. Aku akan memaklumi itu, tidak berniat komplain untuk menyamaratakan kualitas senyum kami. Konyol. Aku mengutuk diri sendiri.

"Thank you," ucapnya terdengar semangat. "Tadi aku cek ke kamarmu, aku pikir kamu lagi di kamar mandi makanya nggak ada suara, ternyata udah di dapur. How do you feel now? Better?"

Aku tertawa. Malu banget sebetulnya, tetapi aku tetap harus menyelesaikan ini dan menjadikan ini pertama dan terakhir. "Aku boleh minta sesuatu, Mas?"

Dia sudah duduk sekarang, menyesap kopi buatanku, meletakkan mug di atas meja lagi, kemudian kepalanya mengangguk dan dia menatapku serius.

"Boleh kita lupain yang semalem?" Aku meringis sambil menggelengkan kepala, merasa benar-benar konyol. "Aku nggak seharusnya bereaksi kayak gitu. Semuanya udah lewat dan berhasil aku jalani dengan baik, reaksi semalam beneran nggak seharusnya ada. Bahkan aku sampai perlu ngungsi ke kamar lain, aku berlebihan, aku minta maaf, ya, Mas?"

Hans tidak langsung menjawab, dia terus menatapku sembari jarinya memutari pinggiran mug. Apakah dia tersinggung dengan kata-kataku barusan? Atau ada salah paham atas apa yang terjadi semalam? Apa dia merasa aku memprihatinkan? Apa? Ayo ngomong, Mas Hans, aku benar-benar butuh mendengar kata-katanya. "Kamu nggak perlu minta maaf, Reva," lirihnya sebelum memberiku senyum. "Aku nggak nyebut kamu belum move on atau apa, no, bahkan meski hidup kita udah baik-baik aja, setiap ingat bagian sakit di masa lalu, rasanya wajar kalau ngerasain sakit lagi. Don't be sorry."

Aku mengangguk. "Thank you, Mas."

"Cuma mungkin, kamu harus tegas sama orang lain, nggak semuanya aman buat diceritain. Jangan selalu pikirin orang lain akan tersinggung, tapi pikirin juga perasaanmu." Tangannya menggeser mug lebih jauh ke arah kanan, kemudian jari-jari dari kedua tangannya menyatu dan berpangku di atas meja, dia mencondongkan sedikit tubuh dan wajahnya. "Kalau ada yang perlu kamu jaga di dunia ini, yang pertama adalah kamu sendiri, Re."

Mulutku sudah terbuka, tetapi kembali rapat karena tak mengeluarkan kata apa pun. Kalau ada orang yang bisa membuatku menjadi irit bicara alias terbungkam—in a good way—yang pertama adalah Hans. Aku tidak tahu, ternyata tak banyak cerita juga menyenangkan. Seolah ... dia bisa paham tanpa perlu aku keluar banyak kata. Karena selama ini, aku selalu merasa orang lain tidak akan paham kalau aku tidak menceritakan detail dan banyak. Orang lain tidak akan menganggap penting kalau aku tidak cerita detail dan banyak.

Tapi Hans, bahkan paham sebelum aku oversharing tentang apa yang aku pikirkan. Aku tidak tahu mana yang lebih berat, apakah ini menyeramkan atau justru kabar gembira untukku?

Aku mengangkat kedua tangan di udara, kemudian bertepuk tangan sendiri sambil nyengir lebar. "You're right. Aku nggak perlu ngerasa takut dikira belum move on cuma karena masih nangis kalau inget momen itu, kan?" Kepalanya mengangguk. "Aku beneran udah nggak peduli sama Danar, Mas, tapi setiap inget apa yang dia lakuin, rasanya kayak ulang dari awal sakitnya, seolah ... hatiku abis pecah berkeping, nyatu lagi dan berkeping lagi." Aku tertawa miris. "Ya Allah! See? Aku barusan bisa cerita tanpa nangis!" Benar-benar di luar perkiraan. Saking terkejutnya dengan apa yang terjadi barusan, aku sampai tidak sadar tubuhku sudah loncat kegirangan dan bertepuk tangan. "Mas. Ya walaupun ... ceritanya nggak detail, tapi ... at least, aku nggak nangis. Ternyata kebanyakan emang nggak baik, termasuk soal cerita."

this is what it feels like || tiwiflTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang