tiwifl || 10

2.1K 452 40
                                    

"Hi, Boys!" Aku berdiri di pintu, mendorongnya sedikit untuk membiarkan kepalaku menyembul. Sebetulnya, sebelum mengurung di kamar Bagas ini, mereka berdua sudah memberitahuku untuk langsung masuk saja ketika perlu sesuatu. Senyumku melebar saat mereka menghentikan permainan dan serentak menoleh ke arahku. "Aku kira-kira boleh tahu nggak kalian selesai jam berapa?"

"Kak Reva butuh sesuatu, ya?"

"Oh bukan, bukan!" Senyumku berubah menjadi tawa pelan. "Aku tahu besok Bagas jam sekolahnya diundur jadi siang karena perbaikan, kan? Jadi, aku pikir kalian butuh waktu lebih malam ini buat main. Aku bisa sesuaikan buat ngobrol sama Mas Hans."

Hans membuka mulutnya sambil kening berkerut, tapi seketika dia menoleh pada Bagas karena anak itu lebih dulu mengeluarkan kalimat.

"Oh ya ampun, nggak pa-pa, Kak, kalau emang lagi ada yang mau diomongin sama Om, main game bisa kapan aja."

Aku meringis. "Are you sure? Maaf, ya, Gas?"

"Nggak pa-pa, beneran."

Hans mengangguk, menepuk pundak Bagas lalu berjalan keluar bersamaku. Dia mengatakan apa pada keponakannya? Tidak ada. Tidak berupa kalimat menenangkan untuk mengganti waktu bermain di lain kesempatan atau apa pun, aku tidak mendengar sepatah kata pun. Tapi menurutku itu bukan masalah, Bagas tak menganggap itu masalah, karena memang seperti itulah Hans.

Justru aku yang setiap hari sedang belajar beradaptasi.

"Di sini aja, boleh, Mas?" tanyaku ketika melihat Hans akan duduk di pinggir kasur, sementara aku memintanya di sebelahku, di sofa yang ada di kamar kami. "Tapi kalau kamu mau jauh-jauhan di sana, ya nggak pa-pa." Aku memberinya ekspresi jail.

Dia tersenyum dan menggeleng, lalu melangkah ke arahku, mengambil tempat di sebelahku. Tubuhnya sedikit menyerong untuk menatap belakang, membuka gordon tepat di belakang kami. Lalu ia kembali menatapku. "Ada apa, Reva?"

Belum apa-apa, aku sudah mengembuskan napas berat, mengingat apa yang akan kami bahas memang bukan hal sepele. Pernikahan ini sejak awal tak pernah sepele meskipun aku juga tidak menginginkannya. Jadi, semua yang ada di dalamnya juga bukan hal sederhana. Termasuk tentang apa yang dibahas Mama tadi siang. "Ini soal ... Mama." Aku menggeleng, menatap Hans serius. "Mamaku atau mungkin juga Mamamu."

"Gimana?"

"Tadi Mama ke sini bukan cuma bawa barang-barang yang ... tadi aku tunjukkin." Aku meringis, lalu aku sadar sekali tatapanku berubah pada Hans, tak perlu melihatnya dari cermin. "Dia minta cucu, Mas." Keningku berkerut menyadari tak ada perubahan dari ekspresinya. "Mas, kamu ... nggak kaget?"

Kepalanya menggeleng. "Kamu kaget?"

"Oh?"

Wajah kami mungkin seperti pemain kartun yang kehilangan arah, tersesat di gurun pasir atau sesimpel definisi dari apa yang dimaksud Taylor Swift; maybe we got lost in translation.

"Aku udah tahu Mamaku mau cucu, itu kenapa dia semangat banget pengen aku nikah, dan begitu tahu kamu juga mau, she's really happy. Dia suka sama keluargamu dan kamu. Jadi aku pikir, kamu dan Mamamu udah obrolin soal ini." Mendengar penjelasannya dengan nada setenang itu, aku refleks menelan ludah. Sibuk mengatai bodoh diriku sendiri, di dalam hati. "Hal ini nggak ada di dalam rencana besarmu itu, Va?"

Aku ... terdiam. Hanya bisa menggelengkan kepala pelan.

Betapa bodohnya, betapa menggebunya, sampai aku melupakan hal paling dasar dari keinginan orang tua ketika menjodohkan anak-anaknya. Motif agar kami hidup lebih baik bersama pasangan yang baik pilihan mereka nyatanya hanya motif tambahan, tujuan utama tetap aja keturunan.

this is what it feels like || tiwiflTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang