4

247 28 0
                                    

Menurut kalian, apa itu tempat untuk pulang? Rumah, kah?

Jika memang itu jawabannya, maka Marsha akan dengan tegas menolak jawaban itu. Bagi Marsha, rumahnya itu bukan lah lagi tempat untuk pulang.
Rumah itu hanya tempat yang berisi segala macam alasan mengapa Marsha merasa kesepian, sedih, juga muak. Marsha begitu muak dengan hidupnya. Semua itu bermula sejak bundanya meninggal, lalu Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain.

Marsha merasa bingung, tidak tahu kemana lagi dirinya harus 'pulang' ketika sang ayah yang menjadi satu-satunya tempat untuknya pulang itu, seolah tidak lagi menyayangi Marsha. Ayahnya berubah menjadi pribadi yang egois, tidak lagi mendengarkan apapun pendapat dan permintaan yang keluar dari mulut Marsha. Ayahnya hanya bisa menuntut ke anak gadis semata wayangnya itu untuk menjadi pribadi sesuai keinginan sang ayah. Tentu Marsha memberontak. Tak terima bila hidupnya dikendalikan oleh seseorang yang ia panggil ayah itu.

Sebagai bentuk gerakan pemberontakannya, Marsha tak pernah mau lagi bertegur sapa dengan ayahnya itu. Bahkan, duduk di satu meja makan yang sama pun ia benar-benar enggan. Tak sudi lagi rasanya memandang sosok ayahnya yang dengan beraninya meremehkan semua mimpi-mimpinya. Bagi Marsha, sudah cukup ia terima ketika ayahnya menyetir hidupnya, mengatur semua hidup Marsha termasuk jurusan kuliahnya.

"Mau jadi apa kamu kalau ambil jurusan DKV, hah? Kamu pikir dengan menggambar saja, hidupmu akan sejahtera?" Hardik sang ayah ketika Marsha mengungkapkan apa yang sudah menjadi pilihannya itu.

"Gak ada yang tau soal hidup kedepannya, Yah. Lagi pula ayah sama bunda kan tau kalau dari kecil aku suka banget menggambar. Ayah juga tau cita-cita aku ingin jadi pelukis, kan? Biarkan aku memilih jalanku sendiri, Yah untuk mewujudkan cita-cita itu" Ungkap Marsha sambil menatap ayahnya penuh harap.

"Yang begitu, kamu sebut cita-cita? Konyol sekali" Desis ayah sinis, sambil memijat pelipisnya.

Marsha tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut ayahnya itu. Sang ayah yang dahulu selalu mendukung apapun keputusan anaknya, kini menjadi ayah kolot dan diktaktor.

Tanpa sepatah kata pun, Marsha pergi dari hadapan ayahnya dengan air mata yang berlinang. Sang ibu tiri khawatir melihat anak tirinya yang terlihat begitu sedih itu. Lantas, ia pun segera menghampiri Marsha ke kamarnya.

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, akhirnya sang pemilik kamar pun membukakan pintu dan mempersilahkan ibu tirinya masuk.

Tanpa berkata apapun, ibu tiri Marsha pun langsung menarik Marsha ke dalam dekapannya. Mengelus kepala Marsha penuh kasih sayang. Di hari itu, Marsha tumpahkan segala kesedihannya di dalam dekapan sang ibu.

Jika dunia dan ayahnya itu jahat, maka Marsha akan menghadapinya. Ada ibunya yang selalu menjadi penenang dan penyemangatnya, menggantikan sang bunda yang sudah pergi menuju pangkuan Sang Pencipta.

Tapi selain dunia dan ayahnya, takdir juga begitu kejam untuk Marsha. Ibu tiri yang sangat ia cintai itu menyusul bundanya yang sudah pergi mendahului mereka. Ibunya itu memiliki riwayat penyakit kronis, memang usianya sudah diprediksi tidak lama lagi.

Marsha begitu kalut, marah, ingin sekali ia mengucap sumpah serapah kepada semesta dan seisinya. Mengapa hidup begitu tak adil kepadanya? Apa ia tak boleh merasakan bahagia?

Itu lah yang terus ia pikirkan.

***

Marsha membuka matanya. Dadanya terasa begitu sakit ketika mengingat semua itu. Merasakan angin yang menerpa wajahnya sore itu, ia melempar pandangan jauh ke arah langit yang sudah berubah warna menjadi orange itu.

Seketika ia teringat, hari ini Marsha ada janji untuk mengerjakan tugas kuliahnya di rumah Ashel. Sekalian menginap, Ashel lah yang mengajaknya. Katanya biar mama dan papa Ashel sekalian kenalan sama Marsha.

METANOIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang