Farah dan Desti berjalan menuju ke kantin setelah jam pembelajaran pertama telah selesai. Setelah pindah di kelas IPS-1, Farah mulai berteman akrab dengan Desti, teman semasa saat mereka masih aktif mengikuti berbagai lomba maupun cerdas cermat bersama Alvia juga.
Mereka ke kantin bersama lalu berpisah begitu saja memesan makanan dan minuman. Tak membutuhkan waktu lama untuk memesan, mereka kembali lagi mencari meja yang sekiranya terlihat kosong. Kedua mata Farah dan Desti menelusuri tiap meja yang dirasa kosong.
"Far, ke sana ada meja kosong," ucap Desti segera mengajak Farah menuju meja yang dituju.
Farah lantas mengikuti Desti dari belakang dengan kedua tangan yang sibuk membawa mangkuk soto dan es jeruk. Ia benar-benar ingin sesuatu yang berkuah dan segar untuk dimakan.
"Nah! Gini, kan, enak dapet tempat," celetuk Desti menghela napas kasar dan menghela rambutnya ke belakang. Kebetulan, rambut Desti tadi dia biarkan terurai begitu saja saat di kelas.
"Lo beli siomay emang enak siomaynya?" tanya Farah ketika ia melihat piring siomay itu lagi yang berada di depan Desti.
Desti menunduk menatap piring makanannya dan mengangguk antusias. "Enak-enak. Beneran enak, deh, apalagi bumbu kacangnya ini ...," terangnya lalu mendesis serta memberikan jempol di depan wajah Farah.
"Sekali-kali lo harus coba ini siomay." Tunjuk Desti kemudian menyantap siomay tersebut dengan mantap.
Obrolan mereka berhenti begitu saja, mereka sama-sama menikmati makanan mereka terlebih dahulu. Suasana kantin yang selalu ramai, tak lupa pula dengan desakan saat mengantri membeli sesuatu. Rasanya ... benar-benar menyesakkan.
Selama Farah pindah di IPS-1, ia tak menemukan kesulitan apapun untuknya. Ia begitu nyaman, rasa konsentrasi saat Farah belajar pun dia dapatkan di sini. Sangat berbeda saat di kelas IPS-2 yang sangat heboh dan selalu ricuh setiap hari, membuatnya tak bisa berkonsentrasi dengan benar.
Baru saja Farah menyebutkan suasana yang heboh dan ricuh, ia mendengar suara yang sangat berisik dari belakang. Dia mendengar suara Alvia dan teman-teman yang lain semakin dekat.
Ia menolehkan kepala ke belakang dan menemukan Alvia dan yang lain sedang berdiri di depan pintu kantin.
Salah satu alis Farah naik ketika dia mengingat tadi pagi yang sangat ramai di kelas sebelah. Bahkan separuh teman kelasnya pun berada di sana melihat sesuatu.
"Tadi pagi rame-rame ada apa di sebelah?" tanya Farah sembari menyuapkan sesendok soto ke dalam mulut.
"Oh, ya, gue belum cerita, ya? Tadi gara-gara si Gilang sama Via sempet ribut, kan, di pinggir lapangan terus mereka juga sempet berantem katanya Via cemburu karena lo sama Gilang ke tangkep lagi ada di cafe," jelas Desti panjang lebar seperti biasa.
Farah mengerutkan kening begitu mendengar Alvia cemburu ketika dia dan Gilang berada di cafe. Ia merenung sebentar mengingat-ingat apakah ia sempat memberitahu Alvia jika dia akan bertemu Gilang. Namun, sesaat Farah sadar dan tahu penyebab Alvia mengetahui jika dia dan Gilang berada di cafe.
Teman-teman Gilang. Farah baru ingat jika kemarin dia berbarengan meminta Gilang untuk mengajari pelajaran Matematika saat dia bermain. Saat itu, ia asal setuju saja dengan persyaratan Gilang untuk diajari berbagai rumus-rumus yang sulit dipahami. Asalkan dia tak terganggu itu sudah sangat cukup, tetapi ia tak menyangka bila salah satu dari mereka ada yang memberitahu.
***
"Oit ...!" Desti menyapa mereka dengan mengangkat satu tangan ke atas.
"Hei ...!" balas Alvia melambaikan tangan lalu menghampiri meja mereka.
Liana, Laras dan Mela otomatis mengikuti Alvia ke meja mereka. Tak ada satupun dari mereka yang mau bergantian untuk mengantri memesan makanan.
Alvia memekik dan memeluk satu sama lain secara bergantian. "Far! Ya ampun ... udah lama nggak ngobrol," sapa Alvia heboh.
Farah tersenyum menanggapi. "Udah lama, ya, nggak ngumpul begini," lontar Farah sembari membalas pelukan Alvia.
Alvia duduk di depannya bersebelahan dengan Desti. Liana dan yang lain duduk di sebelah Farah dan juga di sebelah Desti yang kosong. Alvia melotot melihat Liana dan Laras tak segera memesan makanan.
"Ini kenapa lo berdua malah di sini?!" tanya Alvia keheranan. "Keburu masuk ini, hei, kalau lo berdua masih di sini."
Liana berdecak dan merenggut kesal. Ia melirik Laras, menarik satu tangan Laras untuk segera ikut memesan makanan yang tadi mereka bicarakan sebelumnya.
"Vi ... gue denger lo katanya cemburu, ya, gara-gara gue ketemu sama Gilang kemarin di cafe?" Farah bertanya lalu meminum minumannya sedikit.
Alvia gelagapan mendengar pertanyaan Farah lalu mengalihkan tatap. Ia menyipitkan mata dan mendesis. "Fatah sialan!" gumamnya lalu tersenyum pada Farah.
"Gue nggak cemburu. Itu Fatah aja yang tiba-tiba nyeletuk aneh-aneh begitu." Sebisa mungkin Alvia menjaga intonasi nada bicaranya supaya terdengar biasa saja.
"Sorry, ya. Gue kemarin janjian sama Gilang buat ajarin soal Matematika gitu terus dia minta ketemuan di cafe pas barengan dia main. Tenang, kok, di sana rame nggak cuman Gilang aja," jelas Farah yang malah membuat Alvia malu.
"Please ... gue nggak cemburu beneran." Alvia berusaha meyakinkan jika itu hanya gurauan semata saja. "Si Fatah bener-bener pengen gue hajar aja, deh. Gara-gara dia, nih, jadi muncul gosip yang nggak enak, kan," sungutnya lalu satu tangan menutup mata.
"Malu ngapain? Toh, kalau beneran oke aja, kok, Vi," celetuk Desti yang sedari tadi menyimak dan terbahak.
"Nggak, nggak! Gue beneran nggak ada hubungan, ya sama dia!" Alvia secara tak sadar menyangkal begitu saja. Padahal tidak ada satupun yang bertanya tentang hubungannya dengan Gilang.
"Yang tanya lo punya hubungan sama Gilang itu siapa, Via?" tanya Desti dengan nada menyeret.
"Soalnya pasti kalian pada mikirin kalau gue ada hubungan sama Gilang, padahal nggak ada!" jelas Alvia menggebu-gebu.
"Iya, biasa lah, Vi ... namanya juga manusia yang kadang selalu memiliki asumsi tersendiri oleh pikiran mereka. Iya nggak?" Desti mengendikan dagu pada Farah yang dibalas anggukan.
"Terus kalau misal lo punya hubungan beneran sama gue gimana, Vi?" celetukan pertanyaan yang tak terduga dari orang yang mereka bicarakan tersebut membuat Alvia terkejut. Gilang bertanya tepat di belakangnya bahkan tepat di telinganya!
Alvia memutar badan, melotot, menuding Gilang penuh emosi. "Lo apaan, sih, tiba-tiba di sini?" sahutnya kesal.
"Gue tanya. Kalau misal kita beneran jalin hubungan gimana? Lo mau nggak?" Pertanyaan Gilang cukup membuat heboh seisi kantin. Beberapa dari mereka langsung melingkar di meja Farah, menyimak kelanjutan Gilang dan Alvia.
"Tahu bulat. Digoreng dadakan ... lima ratusan. Tahu bulat! Dadakan, dadakan!" celetuk Fatah ketika mendengar pertanyaan Gilang yang secara tidak langsung dia mengungkapkan isi hatinya.
Tahu bulat! 🤣 Gimana, nih sama chapter hari ini?
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dan jangan lupa jaga kesehatan kalian juga, yaa ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...