"Lo duluan aja, Des. Gue mau ke toilet dulu sebentar," ujar Farah berhenti di depan pintu kantin.
"Oh, ke toilet dulu? Nggak mau ditemenin?" tawar Desti karena biasanya pun jika salah satu teman ke toilet pasti minta untuk ditemani.
"Nggak papa gue sendiri aja ke toiletnya," balas Farah tersenyum.
"Oke, gue duluan ke kelas, ya." Desti meninggalkan Farah di sana sementara Farah segera menuju ke toilet dengan langkah lebar.
Ia membuka pintu toilet dengan kasar dan menutupnya dengan keras. Napasnya memburu saat dia menatap cermin yang ada di depan. Satu tangan Farah membuka keran wastafel mencuci tangannya di sana.
Dia gosok telapak tangan dan punggung tangan dengan gerakan memutar hingga nyaris tak terasa jika kegiatan tersebut memakan waktu hampir satu menit. Ia matikan keran wastafel setelah selesai membilas tangannya.
Farah mendengus melihat keadaan dua tangannya yang terlihat merah. Ia membiarkan hal tersebut dan kembali menatap cermin.
"Kenapa sampai nyatain perasaannya? Nggak gini yang gue mau. Melenceng banget ini." Farah berdecak menatap kesal pada pantulannya sendiri lalu pergi menuju ke kelas.
***
12 IPS-2 sedang berada di jamkos alias tidak ada guru pelajaran yang mengajar. Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh mereka semua. Kebetulan pelajaran yang jamkos saat itu adalah pelajaran Ekonomi yang mana langsung digunakan oleh Alvia untuk mengerjakan susunan pertanyaan untuk wawancara besok setelah pulang sekolah.
Alvia, Gilang dan Mela sudah berdiskusi satu sama lain dan pembagian tugas mereka karena anggota kelompok mereka yang sedikit. Diskusi mereka berjalan dengan baik disusul dengan menyusun daftar pertanyaan apa saja untuk mendukung laporan tugas mereka.
"Pertanyaannya udah cukup nggak, sih, Vi? Kalau kebanyakan takutnya kita nanti terlalu lancang dan privasi penjualan juga," papar Mela dirasa pertanyaan untuk wawancara sudah cukup.
"Berarti cuman 6 aja pertanyaannya?"
"Menurut gue segitu udah cukup. Nanti kita tambahin sedikit untuk menjabarkan jawaban dari Bapaknya nanti." Mela menyetujui usulan Gilang yang ikut bersuara.
Alvia mengangguk-angguk paham. "Oke. Pertanyaan cuman segitu, ya, berarti? Kita cek dulu, udah oke nggak pertanyaannya biar ketika kita bertanya itu si Bapaknya nggak merasa tersinggung dengan pertanyaan kita." Mela mengangkat kertas yang sedari tadi ia coret-coret sejajar dengan wajah dan membacanya.
Alvia dan Gilang menyimak dengan baik lalu mengangguk secara bersamaan menyetujui jika itu sudah cukup. Mela pun menghela napas lega dan menyandarkan punggungnya di kursi.
"Ini yang nggak jamkos cuman kita bertiga aja, nih, gue lihat," ucap Mela menatap sekitar kelas. Liana dan Laras pun terlihat santai bermain ponsel sendiri-sendiri.
"Gue keluar bentar." Alvia beranjak dari bangku dan meninggalkan kelas. Ia ingin sekadar jalan-jalan saja merasakan kepalanya yang sedikit pusing.
"Ke kantin boleh, kan, ya? Lagi jamkos juga," gumam Alvia bergegas menuju kantin.
Alvia berbelok ke kiri dan berlari kecil ketika di depannya sudah terlihat kantin tersebut. Ia ingin memakan sesuatu yang pedas untuk menghilangkan pusing sekaligus kantuk yang dirasa.
"Bakso, Pak, seporsi sama es teh, ya."
"Siap, Neng." Bapak penjual bakso itu pun segera menyiapkan bakso pesanan Alvia. Suasana kantin yang sepi ini lah yang sangat Alvia suka. Sunyi dan tenang, itu yang Alvia suka. Ia tiba-tiba menatap ke belakang, takut jika ada orang yang datang apalagi jika salah satu guru ke kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...