3. Taman

686 36 0
                                    

Double up!!!

Alvan memberhentikan motornya di sebuah taman ditengah pusat kota Jakarta yang diberi nama taman menteng.

"Kenapa Van? Tumben banget ngajak ke menteng. Lo pasti ada masalah ya" Alvin berucap sambil mengikuti langkah si saudara kembar yang memasuki area taman itu. Siang ini cukup panas ternyata.

Salah satu tempat favorit Alvan di taman ini adalah kursi yang mengarah langsung ke wahana bermain anak-anak yang sederhana.

Alvin sedikit terengah saat mencoba menyamai langkah Alvan dan berakhir rasa sesak menyerangnya.

"V-van pelan-pelan ih, gue sesek nih" adunya kesal, ia mengeluarkan benda kecil andalannya dan menggunakannya sebanyak dua semprotan. Tangannya bergetar.

Alvan pun merasa bersalah. Ia tuntun saudaranya itu agar duduk nyaman di kursi dan tepat dibawah pohon yang rindang.

"H-hahh Alvan, lo bener-bener ye" Alvin kini sudah cukup tenang, tapi ia melihat gurat kesedihan di wajah Alvan.

Tangan Alvin meraih tangan Alvan, seperti ingin ikut merasakan apa yang kembarannya rasakan. Meski tidak dilakukan pun, Alvin akan tahu ada yang salah dengan Alvan, begitu juga sebaliknya. Mereka berdua percaya jika ikatan anak kembar tidak akan pernah salah.

"G-gue salah ya Vin?" Gumamnya pelan. Alvin seperti orang budeg karena meminta Alvan mengulang kalimatnya.

"Lo ngomong apa sih?" Tanya Alvin.

"Ah sial, kenapa pemikiran mereka pendek banget" Gumamnya lagi, kini Alvin melongo karena ia tidak bisa menangkap maksud kalimat Alvan.

"Lo denger gue kan Vin? Jangan bilang lo ga denger" Tanya Alvan dengan wajah ngelesnya.

"Lo jangan buat gue kayak orang disabilitas ya. Gue ga tuli, lo aja yang ngomong kek semut" elak Alvin sedikit kesal juga.

Alvan tersenyum, memang Alvin selalu bisa membuatnya tenang. Alvan pun menarik napas dalam, mencoba memasukan semua oksigen kedalam paru-parunya, lalu menghembuskannya kasar.

"Tadi pengarahan dan gue ditanya soal masa depan. Dan gue jawab_"

"Jangan bilang lo jawab gue masa depan lo? Lo emang gila ya Van" potong Alvin.

"Enggak lah astaga jangan suudzon. Dengerin dulu"

"Iya iya, lanjutkan"

"Ya gue jawab, punya. Tapi guru itu malah tanya lagi, rencana kuliah dan gue spontan jawab, gue ga berpikir untuk lanjut kuliah, gurunya heboh dan bilang pilihan gue salah besar. Bahkan temen-temen gue natap gue prihatin. Mungkin karena tau gue kurang mampu kali ya. Tapi itukan pilihan gue, hidup gue, ngapain mereka atur?" Cerita Alvan menggebu-gebu dengan emosi yang besar. Rasa kesalnya terlihat diwajah tampan itu.

"G-gue bukan kayak lo yang pinter, langganan juara kelas dan punya keinginan kuliah. Gue beda Vin dengan mereka. Mereka ga bisa samain keinginan gue selanjutnya." Ucap Alvan lagi.

Alvin mengelus bahu itu dengan pelan, menimbang-nimbang jika yang Alvan katakan itu benar adanya.

"Van, gue yang kembaran lo aja ada perbedaan, banyak lagi. Keinginan lo dan gue juga beda, seharusnya mereka tidak melihat keinginan lo itu sebagai hal yang buruk. Selama tidak merugikan diri sendiri? Lagian melihat kondisi finansial kita, apa iya ayah dan ibu sanggup membiayai kuliah kita? Pengobatan gue aja ga pernah. Oh iya, kita beda juga Van, lo sehat bugar, gue penyakitan"

"Alvin!" Tegur Alvan tak suka. Ia kini merasa menjadi orang paling sakit, padahal si kembarannya pasti merasakan sakit yang lebih.

"Bahkan jika gue ditanya keinginan kuliah Van, gue juga akan ragu. Bukan ke gue, tapi ke ayah dan ibu. Lo hebat Van, lo kerja, lo ikut sosialiasi dan lainnya. Itu udah hebat, mereka ga mungkin ngatur hidup lo sampai harus menuntut harus kuliah atau engga. Hidup ini pilihan Van" ucap Alvin dengan senyum manisnya, ia tak mau lagi saudaranya merasakan sakit karena omongan tentang masa depannya.

"Makasih Vin, gue tahu lo orang yang bisa dengerin gue." Alvan memeluk erat Alvin menyalurkan rasa sayang nya. Beruntung Alvin adalah tipe orang yang suka dipeluk.

"Lo udah ngomong lagi ke ayah dan ibu soal rencana kuliah lo?"

Alvin menggeleng "Gue ga tau Van, katanya kalo bisa yang SNM ini ga usah diambil karena jauh di Surabaya. Ibu kasih saran untuk ambil yang deket atau masih di kota yang sama. Tapi lo tau kan, gue udah diterima SNM, ga mungkin lagi gue ikut tes masuk. Nama gue udah di tandain. Ga mungkin juga kan lewat jalur mandiri? Emang ayah dan ibu punya uang?"

Alvan pun menatap sendu adiknya, padahal Alvin sudah sangat hebat bisa diterima di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Tapi memang itu kejauhan. Dengan kondisi sang adik yang rentan juga finansial keluarga yang kurang. Alvan jadi marah juga ke orang tuanya, harusnya mereka bisa memperjuangkan Alvin agar bisa mendapatkan apa yang ia pantas dapatkan. Bukan menyalahkan keadaan.

"Gue punya uang kalo lo butuh Vin. Gue kerja juga bukan buat gue sendirian. Lo tahu ga kenapa gue langsung iyain ajakan si Gio untuk kerja di bengkel keluarganya?"

Alvin menggeleng. Disaat itu, Alvin lagi sibuk-sibuknya belajar untuk UN dan juga memperbagus nilai-nilai raportnya.

"Suata saat, gue mau lo menjalani pengobatan Vin. Gue juga sakit saat lihat lo tersiksa dengan obat dan inhaler. Lo butuh sesuatu yang lebih dari itu. Gue janji Vin, apapun buat lo"

Mata Alvin berkaca-kaca. Tenyata Tuhan tidak pernah salah menempatkan orang-orang baik dikehidupan kita.

"T-tapi lo ga perlu ngelakuin itu Van, g-gue bukan tanggung jawab lo. Kita masih punya orang tua dan seharusnya ayah dan ibu juga mengurus kita hiks" Air mata Alvin menetes, jika menyebut ayah dan ibu entah kenapa hatinya sangat sakit.

"Apa yang lo harapkan sih? Udah cukup 17 tahun kita begini. Selagi gue sanggup, akan gue lakukan."

Kini, Alvan yang memegang tangan Alvin dengan erat, lalu memeluknya dan membujuk untuk meredakan tangisnya. Untung saja taman sepi. Jadi mereka bisa saling menuangkan uneg-umeg satu sama lain.

TBC

One Soul, Two BodiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang