Bonus Chapter IV : Damai dan Bahagia

489 26 4
                                    

Pagi-pagi buka Wp, cerita ini udah peringkat 1 tagar #angst. Keren banget ga sih.

Aku nulis cerita ini hanya imajinasi yang muncul di kepala tiap mau tidur wkwk.

Dan aku pribadi senang banget. Makasih buat kalian semua yang udah baca dan vote

Ini chapter terakhir ya guys

Happy reading



Gedung Graha, Surabaya

Banyak orang yang memakai seragam serupa atau bisa dibilang baju toga nampak duduk memenuhi gedung tempat acara wisuda diadakan. Sedikit lama hingga nama yang ditunggu-tunggu akhirnya dipanggil.

"Adhinata Alvan Praditya, cumlaude IPK 3,87"

Riuh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Bahkan teman-teman seangkatannya pun bersorak ria. Alvan dengan bangga maju kedepan menerima ijazahnya dan ikut berdiri dibarisan mahasiswa-mahasiswi cumlaude lainnya.

Acara itu berlangsung dengan sangat lancar. Hingga mereka juga dipersiapkan untuk arak-arakan (iring-iringan) menuju jurusan mereka.

Dan Alvan merasa, ia sudah berhasil. Sejauh ini yang ia lakukan untuk diri sendiri dan untuk sang kembaran. Ia sudah melakukan sebaik mungkin.

Siapa bilang ia tak emosional?

Dulu ia dibilang tak punya masa depan, hanya fokus pada diri sendiri, yang bekerja bengkel orang bahkan sampai ia lulus pun masih bekerja.

Tapi ia patahkan semua itu. Gelar yang ia kejar ini bukan untuk dirinya sendiri.

"Lihat Vin, ini buat lo"

🍂🍂🍂

Jakarta

Entahlah, Alvan tak mengingat jika rumahnya sudah berubah warna menjadi hijau. Bahkan halaman depan rumahnya banyak tanaman hias.

Sepertinya orang tuanya sangat makmur.

Dengan hati yang sudah siap, Alvan memasuki rumah itu. Dan tentu saja di sambut terkejut dan haru oleh dua orang yang duduk di teras.

Alvan menggenggam erat ijazah nya, ia ulurkan itu terlebih dahulu kehadapan ayah dan ibunya.

"Alvan...kamu pulang nak?" Tanya Tarissa, ia mengambil benda pemberian Alvan itu dan menangis. Bahkan Erwin kini terdiam.

"Aku udah berhasil, aku udah tepatin janji kepada Alvin"

Diam menjadi respon dua orang tua itu. Merasa jika dihadapannya kini adalah anak mereka yang sudah berubah.

"Ibu rindu sama kamu Alvan. Kenapa selama ini kamu tidak pernah pulang?" Tanya sang ibu sambil mengusap kasar pipinya.

"Aku tidak bisa pulang, sebelum membawa gelar dibelakang namaku. Setelah ini ayah dan ibu tidak perlu khawatir tentang uang, aku bisa menghasilkan banyak uang nanti" ucapnya dengan datar.

"Alvan...ayah minta maaf. Tapi kami rindu sama kamu. Jangan buat kami merasa tidak berguna."

Alvan menatap ayahnya heran. "Apa ayah meragukan ku? Setelah aku memberikan bukti?"

Erwin menggeleng. Ia mendekati anaknya.

"Ada yang ingin kami tunjukan, ayo masuklah"

Alvan pun mengikuti langkah orang tuanya. Ia duduk manis di ruang tamu sementara ayah dan ibu mengambil sesuatu.

Erwin dan Tarissa keluar dengan membawa sebuah kotak.

"Jika kamu berpikir selama ini kami gagal, iya benar nak, kami gagal untuk memperjuangkan kehidupan kalian. Tapi jauh didalam hati kami, kami sangat menyayangi kalian. Rasa sayang kami tidak bisa kamu ukur dengan uang nak" ucap Erwin.

One Soul, Two BodiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang