12. Berkorban

610 27 0
                                    

Hello guys, nih lanjutannya~~~

Happy reading



Sudah malam, dan mata indah yang tertutup itu perlahan terbuka. Matanya menyipit karena cahaya yang begitu terang.

"Kamu sudah bangun? Syukurlah, kamu tidur lama sekali" ucap Freya sambil tersenyum.

"S-saya dimana?" Alvin jadi lupa apa yang terjadi pada dirinya. Saking sakitnya ia jika bernafas.

"Kamu di klinik, saya dokter Freya, kakaknya Arnold teman kamu."

Alvin pun mengingat kejadian tadi siang, ia jadi malu kambuh dihadapan Arnold dan berakhir harus dirawat seperti ini. Dia jadi tidak enak.

Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, Freya pun menbantu Alvin untuk duduk dan melepas masker oksigen itu.

"Sebenarnya kamu masih butuh banyak oksigen tambahan. Saya sarankan gunakan saat tidur."

Alvin hanya mengangguk, lagi pula itu tidak perlu.

Masuklah Alvan dengan wajah yang masih khawatir. Ia segera menghampiri kembarannya.

"Alvin, syukurlah lo udah bangun. Ada yang sakit?" Tanya Alvan.

Alvin diam. Tapi matanya berkaca-kaca, ia memalingkan wajahnya.

Merasa kembarannya ini sedang sensitif, Alvan pun meminta agar Alvin pulang saja. Dan disetujui oleh Freya.

Karena Alvan membawa motor dan angin malam tak baik. Arnold berinisiatif mengantar menggunakan mobil. Tapi ditolak halus oleh Alvin. Jalan rumah mereka tidak bisa di lalui mobil. Jadi, Arnold pun meminjamkan jaketnya untuk digunakan Alvin.

"Terima kasih banyak Arnold, lo baik banget. Maaf ngerepotin" ucap Alvin pelan.

"Gapapa Alvin, semoga cepet sembuh"

🍂🍂🍂

"Alvin!!" Teriak Alvan saat melihat Alvin dengan terburu-buru turun dari motor dan masuk kedalam rumah.

Alvan segera menyusul Alvin, sepertinya memang mood kembarannya itu sedang tidak baik.

Alvan mendapati presensi ayah dan ibunya yang duduk di ruang tengah. Apakah mereka tidak peduli anaknya? Bahkan mereka tidak menanyakan kabar Alvin sama sekali.

"Alvan? Baru pulang kerja? Alvin nyusul kamu ke bengkel ya tadi?" Tanya Erwin dan Alvan menggeleng.

"Alvin tadi sama temannya. Kita pulang bareng kok" terpaksa, Alvan tidak mengatakan yang sebenarnya. Tapi tak sepenuhnya berbohong.

Ia pun masuk kedalam kamar Alvin dan mendapati kembarannya menangis dalam diam. Alvan perlahan duduk disampingnya, membawa tubuh bergetar itu agar tenang.

"Gue tahu Vin. Gue tahu apa yang lo rasain" Alvan berucap lembut.

"Engga Van, lo ga tau hiks" isaknya.

"Lo meragukan ikatan kita hm? Gue gelisah saat lo sakit, gue ikut merasakan itu Vin" lanjut Alvan mengutarakan kekhawatirannya.

"Lo tau kejadian tadi siang?" Tanya Alvin dengan mata yg berair itu.

Alvan diam. Kejadian tadi siang? Sedangkan siang ia full bekerja.

"Siang yang lo dirumah? Lo ngobrol-ngobrol sama ayah dan ibu?" Tebaknya, karena melihat mood buruk Alvin, pasti berasal dari kedua orang tuanya.

"Sama ayah doang. Tentang pengobatan" cicitnya. Ia masih terisak kecil. Alvin pun menceritakan jika ayah mereka berkata bisa memulai pemgobatan itu.

"Bagus dong Vin, lo akhirnya bisa berobat, mendapatkan apa yang lo butuhin selama ini" respon Alvan ikut senang.

"Tapi, gue ga kuliah tahun ini" sanggak Alvin cepat.

Ah Alvan jadi paham. Jadi Alvin disuruh memilih antara pengobatan atau kuliah?

Bukankah lebih baik pengobatan?

"Kuliah bisa tahun depan Vin. Masih ada kesempatan buat coba lagi"

"Tapi kalau coba tahun depan, itu makan biaya Van. Pendaftaran dan lainnya"

'Ga ada jaminan gue masih hidup tahun depan' ucapnya dalam hati

"Lo masih meragukan gue? Gue yang akan bantu biaya kuliah lo semisal ayah dan ibu ga mau kasih. Apapun Vin, akan gue kasih buat lo." Ucap Alvan dengan penuh keyakinan.

Alvin jadi terharu, pengorbanan Alvan sangat besar.

"Kenapa lo berkorban sebesar ini Van? Lo ga punya mimpi besar untuk di wujudkan? Jangan bohong sama gue kalau semisal lo juga punya keinginan untuk kuliah. Jika dilihat dari kondisi finansial, ayah dan ibu cuma mampu membiayai satu orang. Belum lagi pengobatan gue pasti mahal banget. Lo juga ga mungkin kerja seumur hidup kan?" Tanya Alvin menatap lekat mata yang mirip dengannya itu.

Sedangkan yang ditatap memberikan senyum manisnya. "Lo itu pusat kehidupan gue. Setengah hidup gue ada di lo. Kalau lo sakit, sedih, marah gue bisa rasakan itu. Gue bahagia kalau lihat lo bahagia Vin. Impian besar gue ada di lo, mengantarkan lo mewujudkan itu udah jadi keharusan gue. Gue ga keberatan jika ga kuliah, hati gue juga mengatakan kalau lo itu masa depan gue. Kita saling melengkapi Vin."

Alvin menunduk menyembunyikan air matanya yang menetes lagi. Tak pernah ia rasakan berbicara dengan Alvan tentang masa depan akan semenyakitkan ini.

"Gue cuma mau lo ngerti, kalo lo itu penting di hidup gue" ucap Alvan lagi dan saat itu juga tubuh Alvan mendapatkan pelukan dari si kembaran.

"Makasih banyak...kak" lirihnya. Menangis membuat ia jadi kekurangan oksigen.

Alvan tersenyum lagi dan mengusap rambut Alvin. Melihat nafas kembarannya yang berantakan Alvan teringat barang yang ia beli di rumah sakit.

"Gue punya sesuatu buat lo. Karena gue gajian dan dapat bonus. Gue beliin tabung oksigen dan nasal cannula. Ini bantu lo buat tidur nyenyak di malam hari. Jadi, lo ga rasain sesak sampai susah tidur lagi" Alvan membuka kotak itu dan membuat Alvin jadi makin terharu.

Alvan dengan telaten meletakan tabung oksigen iru disamping ranjang. Memasangkan selangnya sesuai instruksi.

"Gue ga akan bilang ke ayah dan ibu soal lo yang udah ditangani dua kali sama alat bantu pernafasan. Gue tahu ini adalah benda yang seharusnya ada buat penderita asma."

Alvin jadi makin terharu, harusnya ia hidup berdua saja dengan Alvan. Rasanya ia hanya butuh Alvan di hidupnya.

Alvan pun menyuruh Alvin berbaring, memasangkan selang oksigen itu melintang di hidung Alvin dan mengatur oksigen sesuai dosis yang dibutuhkan.

"Gimana? Udah enakan?" Tanya Alvan.

Alvin mengangguk, sambil tersenyum.

"Temenin gue, sampai gue tidur ya kak?" pintanya.

Alvan mengangguk, meski kasurnya agak kecil, tapi muat untuk mereka berdua. Tangan Alvan kembali mengusap kepala Alvin dengan lembut dan memberikan pukpuk dengan pelan.

"Makasih banyak kak. Makasih udah berkorban buat gue" bisiknya, Alvan mendengar itu hanya mengangguk dan tersenyum.

TBC!!!

TBC!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Btw

Merry Christmas everyone🎄💝, semoga kalian semua bahagia 😊

One Soul, Two BodiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang