Hellowww~~~
Tarissa, wanita cantik yang menjadi ibu si kembar, tampak memasuki rumah dengan menenteng sebuah kresek berisi belanjaan. Ia memutuskan untuk memasak sayur-sayuran agar keluarga tetap makan makanan bergizi. Jika ia mengikuti keinginannya selalu membawa makanan dari restoran, maka keluarga tidak makan makanan yang bergizi.
Ia melewati ruang tamu yang ternyata ada Erwin disana. Seharusnya Tarissa tahu jika sang suami terancam di PHK dan kehilangan pekerjaan, wanita itu sudah paham karena selalu saja seperti itu. Tidak, Tarissa tidak marah atau kecewa pada suaminya. Dia justru ikut prihatin dan ikut sedih.
Seharusnya mereka tidak hidup seperti ini.
"Mas, aku masak untuk makan malam dulu ya. Nanti kita bicara" ucapnya dan diangguki oleh Erwin.
.
.
Setelah selesai makan malam yang cukup canggung itu, Erwin mengumpulkan semua anggota keluarganya diruang tengah. Alvan dan Alvin duduk saling berhadapan.
"Jadi, ayah to the point saja ya. Ayah akan di PHK dan tidak menutup kemungkinan ayah tidak bisa bekerja lagi disana. Dan juga kantor tempat ayah bekerja bermasalah. Jika di lihat dari sisi mendang mending. Ayah memutuskan untuk keluar. Ayah tidak mau terlibat satu pun masalah kantor itu yang berimbas ke kita semua" jelas Erwin, disampingnya ada Alvan, dan sebagai anak ia juga setuju akan hal itu.
"Ayah tidak mau membebani ibu kalian yang juga penghasilannya tidak seberapa. Ayah akan mencari pekerjaan lain. Tapi untuk sementara, jangan jadi orang boros, gunakan uang secukupnya. Kalian juga sudah kelas 12 kan? Tidak ada pengeluaran lagi."
Alvin sontak mengangkat kepalanya yang tertunduk, apakah ayahnya tidak berpikiran tujuannya setelah lulus? Kenapa hanya berpatok di kelas 12 saja?
"Ibu masih bisa membiayai kalian, tapi tidak banyak. Untuk makan makanan sehat dan juga kebutuhan yang benar-benar penting. Sampai ayah kalian mendapatkan pekerjaan. Kalian tahu kan, tidak mudah mendapatkan pekerjaan di zaman sekarang. Kalian mengerti kan?" Tanya Tarissa kepada dua anaknya.
Alvan menatap Alvin yang seolah ingin membicarakan sesuatu. Tapi sepertinya si kembaran tidak punya keberanian itu.
"Eum lalu b-bagaimana dengan kuliah Alvin? Dia harus segera daftar ulang loh"
Itu sebenarnya Alvan yang berbicara. Ia tahu Alvin sangat ingin membahas ini.
"Kuliah bisa kita bicarakan nanti, lihat dulu kondisi ekonomi kita bagaimana. Jika kalian ngotot mau kuliah, tolong cari saja kampus di satu kota yang sama. Jika perlu yang dekat rumah, ayah kan sudah bilang, kita minimumkan kemungkinan buruk yang terjadi. Ayah bahkan tidak bisa berpikir tenang karena kehilangan pekerjaan" ucap Erwin dengan nada biasa namun ada unsur penolakan disana. Bisa dibilang, ayahnya mau anak-anaknya melanjutkan pendidikan, tapi yang benar-benar kampus bawah dan bukan kampus ternama.
"Kalian berdua, sudah ibu bilang berkali-kali untuk mengerti. Ayah dan ibu senang kalian akan melanjutkan ke jenjang perkuliahan, tapi tolong bantu kami juga agar tidak di luar kota ya. Apalagi Alvin, jauh sekali kamu harus ke Surabaya. Jika terjadi sesuatu sama kamu disana, apa ayah dan ibu bisa langsung terbang kesana menyusul kamu? Dan jika penyakit kamu sedang kambuh, siapa yang akan perhatikan? Ibu cuma minta kita saling mengerti okey?" Ucap Tarissa, sambil mengelus puncak kepala Alvin yang duduk disebelahnya. Tangannya juga merasa kening Alvin dan ada rasa hangat disana.
"Minum obat penurun demam ya Vin. Juga obat rutin kamu. Jangan sakit ya nak" ucap Tarissa lembut.
Pembicaraan itu selesai, dengan Alvin yang mendapatkan penolakan, lagi. Padahal permintaannya sangat sederhana, yaitu bisa kuliah di tempat yang berhasil memilihnya. Pastinya uang kulian semester tidaklah mahal, uang bertahan hidup juga tidak usah terlalu banyak, Alvin bukan tipe orang yang berfoya-foya atau nongkrong. Dan juga pasti ada banyak program beasiswa yang bisa Alvin ikuti, hitung-hitung untuk uang jajannya.
Soal penyakit, itu tidak usah ditanyakan. Ia hidup sampai umur 17 tahun ini baginya adalah keajaiban. Lagi pula Alvin sudah terbiasa dengan penyakitnya jika kambuh. Lagipula kematian ditangan Tuhan.
Karena tidak mau berdebat atau seolah-olah menjadi anak pembangkang, Alvin menuruti perkataan sang ibu yang minum obat penurun demam dan obat untuk asmanya.
Oh ya, tenyata pengeluaran yang termasuk banyak itu berasal dari obat-obatan Alvin yang lumayan mahal. Dan ia harus menebus setidaknya sebulan 2 kali.
Selebihnya tidak ada. Jika kambuhnya parah, maka opsi terakhir adalah rumah sakit dimana tempat itu selalu dihindari oleh keluarganya.
Karena pasti biayanya jauh lebih mahal.
🍂🍂🍂
Malam yang semakin larut itu, menghantarkan Alvin pada kebimbangan luar biasa. Hidupnya seperti tidak bebas. Ada saja batasan yang di lalui dan juga kekecewaan yang harus ia dapatkan.
Pikirannya kacau. Mungkin itu yang menyebabkan dia sakit. Dari tadi siang kepalanya sudah pusing, perutnya mual bahkan nafasnya sesak.
Alvin batuk keras dan langsung sesak nafas. Meraih inhaler yang terletak di kasur dan digunakannya langsung dua semprot.
"hhah...hah"
Kepalanya jadi pening, padahal tadi sudah minum obat juga.
"Kenapa ga reda sesaknya hiks"
Alvin mulai menangis, sakit sekali rasanya. Ia mencoba duduk bersandar pada pinggiran tempat tidurnya dan mengatur pernapasannya.
Tangan terkulai begitu saja saat ia berhasil menyemprotkan dua lagi dari inhalernya. Air mata di sudut matanya di biarkan mengalir.
Sekarang Alvin mengantuk. Besok dia harus pergi kesekolah.
TBC!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
One Soul, Two Bodies
Fanfic[COMPLETE] ✅️ Disaat kamu berpikir tidak ada yang peduli padamu, percayalah aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Janji untuk selalu bersama sudah lebih dari cukup. [Twin Brothers Life]