Chapter 8 - Puzzle

13 4 2
                                    

Happy reading

.

.

Suara riuh klakson kendaraan yang sesekali bersahutan terdengar di telinga Rani. Berisik sekali, membuatnya membuka mata perlahan.

'Ini di mana?' batinnya sambil mengawasi sekitar. Cukup gelap, namun ada banyak cahaya dari luar. Di luar juga tampak banyak kendaraan yang berjejer. 'Ini di mobil? Mobil siapa?'

"Sial, kenapa macet banget," gerutu seseorang yang duduk di sebelahnya. Rani mengenal betul siapa pemilik suara itu, Indra.

"Saya akan mencari jalan lain, tuan," sahut seseorang yang duduk di balik kemudi. Rani juga mengenali suara itu, Arvin.

"Kak Indra," panggil Rani lirih, badannya masih terasa lemas.

Indra yang sepertinya mendengar panggilan Rani mulai mengubah posisi duduknya. Rani bisa melihat siluetnya karena cahaya dari luar. Tiba-tiba lampu kecil yang ada di bangku tengah menyala, membuat Rani sedikit memicingkan matanya. Gadis itu pun merasakan sebuah tangan yang menyentuh pipi dan keningnya, seperti memastikan suhu tubuhnya.

"Kamu udah bangun, dek? Apa ada yang sakit? Kita sedang menuju rumah sakit sekarang," kata Indra, lalu memperbaiki jas hitam miliknya yang digunakan untuk menyelimuti Rani.

"Ke rumah sakit? Siapa yang sakit, kak?" tanya Rani dengan polosnya.

"Tadi kamu pingsan, dek. It's okay, mas Arvin sedang cari jalan."

Rani terdiam, mencoba mencerna dan mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Bukankah ia tadi ada di café kak Dani bersama Fara dan Dina? Lalu Indra datang dan...

'Astaga...,' batin Rani sedikit terhenyak sambil memegangi dadanya. Sesak di dadanya kembali terasa seiring ia mengingat apa yang terjadi sebelumnya. 'Kukira tak akan kambuh lagi. Sudah hampir tiga bulan kan, sejak terakhir kali aku begini?'

"Dek," Rani kembali merasakan tangan Indra yang menyentuh pipinya, membuatnya menoleh. Wajah kakak keduanya ini terlihat khawatir. "Are you okay?" tanyanya lagi.

Rani mengangguk, berusaha kembali mengatur nafas dan menenangkan dirinya. "I'm okay, kak. Kak Indra gak usah khawatir," kata Rani, lalu membenahi posisi duduknya. "Om Arvin, tolong langsung pulang ke rumah saja. Gak usah ke rumah sakit," kata Rani pada Arvin.

"Rani! No! Kita tetap ke rumah sakit," kata Indra tegas sambil menatap Rani, tatapan yang seakan menusuk.

"Gak usah, kak. Aku baik-baik aja, kok."

"Kamu kesakitan tadi, dek. Wajahmu pucat, tanganmu masih dingin dan gemetaran. Bagaimana kamu bisa bilang gak apa-apa?" kata Indra sambil mengangkat tangan Rani yang terlihat masih gemetar.

Rani diam, ia tak suka perdebatan seperti ini. Ia begitu lelah, tak ada energi yang tersisa untuk berdebat dengan Indra. Ia hanya ingin pulang ke rumah dan beristirahat.

"Kak Indra, aku mohon," kata Rani dengan lembut sambil melepaskan tangannya. "Aku ingin pulang ke rumah."

Tak ada jawaban dari Indra. Pria muda itu masih menatap Rani dengan tajam. Lama-lama Rani merasa tak nyaman juga, ia pun memilih untuk memalingkan wajahnya menatap ke jalanan. Suasana di dalam mobil berubah hening dan menegang. Hanya terdengar deru suara kendaraan saja dari luar.

Terdengar Indra menghela nafasnya pelan. "Dek, sini lihat kakak," kata Indra, suaranya berubah melembut.

Rani tak bergeming. Bagaimanapun, ia juga bisa marah kan?

"Dek," panggil Indra lagi sambil menyentuh tangan Rani. "Ayo, sini lihat kakak dulu."

Merasa tak enak lama-lama mengabaikan Indra, Rani pun menoleh. Seketika ia dapat melihat raut khawatir di wajah tampan kakaknya itu. Aura kemarahan yang tadi terlihat seakan sirna.

Khirani (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang