Chapter 5 - Berusaha Melawan

36 6 4
                                    

Enjoy reading

.

.

Radit melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat setengah jam dari jam pulang kerjanya. Kini ia masih melakukan hand over dengan tim IGD yang akan berdinas sore di ruangan dokter dan perawat.

Pasien IGD mendadak ramai di jam-jam terakhir pergantian shift, membuat waktu hand over akhirnya molor. Kepala perawat yang hari ini berdinas pagi pun memberikan penjelasan tentang hal-hal esensial yang terjadi di IGD kepada semua tim yang akan berdinas di shift selanjutnya.

"Selain yang saya jelaskan tadi, tolong perhatikan catatan yang ada di buku laporan. Ada beberapa pasien yang baru datang dan perlu pemantauan intensif," jelas wanita paruh baya yang berperawakan agak berisi. Beliau adalah kepala perawat IGD.

"Baik, bu," balas hampir seluruh tim shift sore serentak.

"Baiklah, hand over selesai. Terima kasih untuk hari ini dan selamat bertugas,"

Mereka pun saling bersalaman, lalu kembali mengerjakan tugas masing-masing. Radit pun melepaskan jas dokternya lalu meraih ransel hitamnya.

"Saya pulang dulu, bu," pamit Radit pada kepala perawat IGD.

"Iya, dokter Radit. Terima kasih untuk hari ini."

Usai berpamitan, Radit segera keluar dari ruangan dokter dan perawat yang bersebelahan dengan ruang IGD. Saat melewati meja jaga ruang IGD, dua perawat perempuan menyapanya. Radit membalasnya dengan senyuman sambil melanjutkan jalannya.

Radit berprofesi sebagai dokter umum di Jakarta International Hospital. Ia cukup populer di kalangan para pegawai. Wajah tampan, kulit bersih, penampilan yang selalu rapi dan menawan, serta pembawaan diri yang tegas namun ramah jadi faktor utama yang membuatnya diidolakan oleh sebagian rekan kerjanya. Sejak satu setengah tahun yang lalu berdinas di rumah sakit ini, sudah banyak pegawai perempuan yang berusaha mendekatinya. Mulai dari sesama dokter, perawat, hingga staf bagian administrasi. Bahkan beberapa pegawai senior pun berkeinginan untuk mengenalkannya dengan anak perempuan mereka. Namun Radit masih saja menolak dan mengatakan kalau menikah belum jadi prioritas utamanya.

Radit bergegas menuju tempat parkir khusus dokter yang berada tak jauh dari IGD. Pak Win, driver-nya sudah menunggu sejak lebih dari setengah jam yang lalu. Ia langsung menghampiri mobil SUV BMW warna silver tersebut.

"Maaf menunggu lama, Pak Win," kata Radit saat memasuki kursi belakang mobil. Ransel dan jas dokternya ia lemparkan begitu saja ke kursi sebelahnya.

"Tidak apa, den," balas pria paruh baya ini. "Kita langsung pulang ke rumah, den?"

"Iya, pak. Aku capek banget," Radit sedikit merebahkan kursinya setelah mengenakan sabuk pengaman. Ia mulai memejamkan matanya, kalau bisa ia ingin tidur sejenak.

Tak lama, mobil mulai berjalan meninggalkan rumah sakit. Jalanan sore ini sudah mulai padat. Mobil yang dikendarai Pak Win bergerak pelan menyusuri jalan raya.

Selain pekerjaan yang membuat Radit lelah, ada beberapa hal yang mengganggu pikirannya sejak tadi pagi. Saat sarapan, Rajendra mengatakan bahwa Rani saat ini sedang mengikuti Festival Seni Nasional untuk mewakili sekolahnya.

'Anak itu, kenapa selalu menguji kesabaranku?' batin Radit sambil memijit pelan keningnya.

Sejak dulu, Radit tak pernah suka dan setuju jika adik bungsunya itu bermusik. Apalagi berencana berkarir di bidang musik. Di dalam pikirannya, musik itu tak memiliki masa depan yang bagus. Ia ingin Rani fokus pada pendidikannya, belajar giat untuk meraih nilai terbaik, mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studinya ke luar negeri. Ia ingin melihat Rani jadi ilmuwan, akademisi, profesor atau dokter seperti dirinya. Otak cemerlang Rani terlalu sia-sia kalau hanya berakhir dengan musik dan seni saja.

Khirani (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang