Chapter 4 - Friksi

40 8 9
                                    

Enjoy reading

.

Rajendra mendongak, menatap langit melewati atap transparan yang menaungi sebagian ruangan restoran. Cuaca hari ini cerah, langit biru membentang dihiasi awan putih yang berarak. Suhu udara juga tidak terlalu panas, angin berhembus semilir dari pintu dan jendela-jendela yang terbuka.

Suara riuh orang-orang yang memenuhi ruangan membuat Rajendra mengedarkan pandangannya. Restoran ini memang selalu ramai pengunjung. Apalagi ini bertepatan dengan jam makan siang. Selain perpaduan menu western dan asian yang lezat, konsep yang diusung tempat ini juga cukup menarik. Bangunan semi outdoor dengan atap yang tinggi, terdapat berbagai jenis tanaman hias hampir di setiap sudut ruangan. Tersedia juga taman dan kursi-kursi di luar ruangan. Tempat ini layaknya oase di antara gedung-gedung tinggi ibukota. Sungguh tempat dan suasana yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama kekasih, namun bidadari di hadapannya terlihat murung sedari tadi. Makanan di hadapannya pun hanya ia aduk dengan garpu.

Apa yang membuat kekasih hatinya ini sedih? Bukankah adiknya sudah pulang dari rumah sakit kemarin? Seharusnya ia lebih tenang sekarang.

"Ada apa, sayang? Sedari tadi kamu diam saja," tanya Rajendra yang hanya dibalas senyuman oleh Maya, senyuman yang selalu membuat dada Rajendra menghangat. "Apa menunya tidak cocok? Kita bisa pesan yang lain."

Wanita cantik itu menggeleng pelan, "Tidak ada yang salah dengan menunya." Suara lembutnya bagaikan candu di telinga Rajendra.

"Lalu kenapa kamu terlihat murung? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Maya kembali tak menjawab dan malah memalingkan wajahnya.

"Katakan saja, sayang," Rajendra kembali meyakinkan Maya.

"Itu... semalam bu Citra menelfon. Beliau mengatakan kalau posisi Naura di Festival Seni Nasional sudah digantikan anak lain. Menurut pihak sekolah, Naura yang saat ini sakit tidak akan bisa mewakili sekolah. Jadi, beliau menawarkan posisi itu pada anak lain. Padahal seleksi masih beberapa hari lagi," jelas Maya.

"Siapa penggantinya?"

Maya menatap Rajendra dengan ragu, "...Rani."

"Rani?" kedua alis Rajendra hampir bertemu ketika mendengar nama yang diucapkan oleh Maya. Semoga dugaannya salah.

"Khirani Dahayu,"

Raut wajah Rajendra langsung berubah begitu mendengar nama tersebut. Senyum tipis di wajahnya seketika menghilang. Entah kenapa ia tak suka mendengar nama itu.

"Sejak semalam Naura selalu menangis. Ia juga tak mau makan. Festival ini, salah satu impiannya," terlihat sekali raut kesedihan di wajah Maya.

Rajendra ikut gelisah. Ia tak suka melihat pujaan hatinya dilanda kesedihan. Sepertinya ia harus melakukan sesuatu.

Rrr... Rrr...

Maya meraih tas warna beige yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Ia mengaduk tasnya untuk mengambil handphone-nya yang berdering. Setelah mendapatkannya dan melihat siapa yang memanggil, ia segera mengangkatnya.

"Halo, ma... Apa?! Oke, aku segera kesana," seru Maya yang terlihat panik.

"Ada apa, sayang?" tanya Rajendra.

"Naura pingsan. Mama sedang membawanya ke rumah sakit sekarang," Maya buru-buru berdiri dan hendak pergi.

"Kita kesana bersama," Rajendra langsung mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan meletakkannya di atas meja. Ia pun bergegas menggandeng tangan Maya dan berjalan keluar dari restoran.

Khirani (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang