#24 NEW CAST

613 67 28
                                    

**

Sara meratapi foto dirinya sendiri — foto yang direkam Raka secara diam-diam ketika mereka belajar bareng waktu itu. Juga beberapa pesan singkat yang singgah. Teringat hari di mana ia dan Raka ketawa sama-sama bikin dia kangen. Tidak pernah terpikirkan olehnya akan berakhir seasing ini.

"Raka titip salam, Sar."

Obrolannya dengan Handaru hari itu, hari di mana mereka akan pulang ke Bandung bersama masih terekam rapi di kepala Sara sebab hal pertama yang mereka bicarakan dalam perjalanan pulang adalah Anggaraka.

Sara bukan hanya akan berpisah dengan Raka untuk tiga bulan ke depan tapi juga Ghea dan Ale — namun tidak sesedih ketika dia memikirkan akan berpisah dengan laki-laki itu. Lebih lagi karena teman-teman di sekitarnya terlalu mendramatiskan perpisahan mereka. Sara bisa lihat bagaimana Ghea, Ale dan Handaru hari itu saat melepas kepergiannya. Tanpa ada Raka. Mimik wajah kasihan mereka semakin menimpa wajah pilu Sara.

"Raka udah balik, Han?"

"Udah." kata Handaru—suaranya lebih terdengar parau dari Sara. "Besoknya abis ujian dia langsung cabut. Mendadak harus ke Surabaya, tempat Mbak Ega."

Mendengar nama wanita itu disebut, Sara mengalihkan pandangannya. Menengok Handaru. "Mbak Ega di Surabaya sekarang?"

"Mas Sandy suaminya Mbak Ega kecelakaan, Sar. Jadi Mbak Ega harus stay di Surabaya sampai Mas Sandy pulih. Makanya Raka nggak jadi ngambil Jogja. Nyokapnya sendirian. Nggak ada yang jagain ntar."

Kalimat panjang Handaru itu membuat otak Sara membeku tiba-tiba. Tiap kata yang dilontarkan semuanya penuh kejutan. Suami Mbak Ega, Mas Sandy kecelakaan. Mbak Ega yang harus stay di Surabaya karena jagain suaminya. Raka yang nggak jadi ke Jogja karena nyokapnya sendirian. Sampai di sana, Sara sudah bingung harus merespon bagaimana. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Setelah banyak sumpah serapah sebab Raka tak ada kalimat pamit padanya yang akan pulang dan ke Jogja itu — ternyata sedang mengalami kesulitan. Dan kini ia jadi mengutuk dirinya sendiri.

"Bokap Raka kan udah meninggal, Sar. Jadi nyokapnya sendirian di rumah."

Dan kalimat Handaru selanjutnya semakin membuat Sara terkejut. Matanya yang sudah berkaca-kaca itu membola lebar. Napasnya naik turun. Sesak dadanya tiba-tiba. Dalam detik selanjutnya, Sara cepat mengalihkan pandangannya ke arah depan lagi saat Handaru memalingkan wajahnya ke arahnya. Sara tidak mau kelihatan akan menangis. Perasaannya campur aduk. Entah sedih mana yang ia rasakan.

"Kata Raka, sorry nggak bisa pamitan sama lu. Dia sebenarnya pengen banget ketemu tapi," Handaru menggantungkan kalimatnya saat ia mendapati Sara tiba-tiba menangis di sana. Rintihannya tak terdengar tapi Handaru bisa tahu dari bahunya yang naik turun itu. Dari tangannya yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin memang Handaru harus berhenti bercerita Raka ke Sara. Perempuan itu sudah menahan sedih sejak keberangkatan mereka. Bahkan Handaru sendiri ikut sesak dadanya.

Tapi Melihat Sara menangis seperti itu, Handaru rasanya ingin memukul Raka sekali saja. Ia berusaha menahan diri untuk berkata yang baik-baik ke Sara. Namun melihat bagaimana Sara sekarang tidak peduli dia teman Raka di sini, Handaru akan mengatakan apa yang ia rasakan juga.

"Udah nggak usah nangis. Emang tuh anak pengecut aja. Sorry banget gue bilang begini. Sekalipun gue temennya yang dia lakuin ke lu ini jahat."

Sejak awal, Handaru yang paling memaksakan Raka untuk cepat memberitahu Sara akan perasaannya. Tapi Raka banyak denialnya. Banyak takutnya. Banyak tidak percaya dirinya. Sampai udah ada kesempatan, dia justru menyia-yiakannya. Dan kemudian semua menjadi lebih sulit.

Bahkan, Handaru sampai mencari cara supaya Raka bisa punya waktu lagi sama Sara dengan mengajak perempun itu pulang ke Bandung bareng — tapi itu tadi, semua menjadi lebih sulit. Raka harus buru-buru ke Surabaya sedangkan Sara perlu beberapa hari memutuskan untuk pulang karena ada urusan di kafe. Tidak ada kesempatan untuk mereka bertemu.

SEMU (LOVE IN CAMPUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang