tiga belas

5.6K 159 5
                                    

Tangan yang memegang tongkat pemukul itu bergetar. Badannya seakan diselimuti oleh semen yang sudah mengeras terkena sinar matahari. Nafas yang awalnya naik turun seperti baru saja lari maraton kini tercekat seakan dicekik oleh makhluk tak kasat mata.

"Puas bersembunyi sayang?" Tepat saat pertanyaan itu terucap, kaki Gesa terasa berubah menjadi jelly yang meleleh. Gadis itu meluruh jatuh ke lantai yang dingin. Suara serak itu terdengar mengerikan ditelinga nya.

Sebuah tangan besar merain lengan ramping Gesa, menyuruhnya berdiri. Ditahannya kedua lengan mulus Gesa yang terbalut kaos berwarna biru lalu jempol dari tangan kekar yang menahannya itu mengusap-usap lembut.

Gesa yang tersadar ia mengedipkan matanya beberapa kali. Tangannya menggenggam tongkat pemukul itu dengan sangat kuat lalu mengayunkannya untuk memukul orang dihadapannya.

Namun Gesa kecewa. Tongkat pemukul itu ditangkap dengan sangat cepat oleh orang itu.

"Kakak mau melukai adik kakak sendiri?" Ucap Gevi tersenyum seringai lalu membuang tongkat pemukul itu asal hingga mengenai vas bunga yang ada diruang tamu sampai pecah.

Gesa menggeleng kuat. Ketakutannya akan wajah Gevi yang waktu itu kini tergambar lagi dihadapannya. Jantungnya berpacu sangat cepat, badannya bergetar ketakutan.

"Enggak..... ENGGAK!!! Pergii....." ucap Gesa menjerit.

"Adikmu sudah bersusah payah mencari kakaknya yang nakal. Kakak tega mengusirnya?" Gevi mengunci kedua tangan Gesa di belakang punggung gadis itu. Ia mendorong tubuh kurus kakaknya untuk lebih dekat. Dapat ia rasakan pacuan jantung kakaknya yang memompa dengan sangat cepat, ia tersenyum kemudian.

"Kakak juga merindukanku ternyata" ucapnya.

Karena Gesa yang terus memberontak, Gevi menancapkan suntikan bius pada leher gadis itu. Di sisa-sisa kesadarannya, Gesa menuju pintu apartemen untuk segera keluar namun karena tubuhnya yang lemas, ia hanya bisa merangkak perlahan-lahan.

Gevi tidak menahannya. Ia hanya melihat kakaknya yang mencoba kabur dibawah pengaruh obat bius.

Saat tinggal sedikit lagi meraih gagang pintu itu kesadaran Gesa sepenuhnya hilang. Gevi membopong tubuh ringan kakaknya keluar dari area apartemen menuju rumah.

Raut wajah Nara dan Rendi terlihat jelas kalau mereka khawatir. Sore tadi Gevi memberitahu sang ayah kalau ia sudah menemukan kakaknya dan ia meminta izin untuk menjemputnya sendiri. Rendi pun mengizinkan.

Nara menyuruh Gevi untuk meletakkan Gesa yang tak sadarkan diri pada kamar gadis itu. Tentu saja Gevi bilang kalau kakaknya tertidur di mobil, tidak mungkinkan kalau ia mengatakan dengan jujur.

"Kau memang nakal kak" Gevi mencium tangan lentik Gesa setelah kedua orangtuanya pergi dari kamar ini. Gavi terus melihat wajah cantik kakaknya, ia sangat merindukan wajah itu.

Malam ini mereka habiskan waktu untuk menemani kakaknya tidur. Hingga pukul tiga subuh, mereka keluar bersamaan menuju kamar masing-masing.

>>>

Gesa terkejut hingga terduduk saat terbangun pukul enam pagi ini. Ia menatap sekitar. Tidak! Adiknya berhasil menemukannya dan membawanya pulang. Gesa berdiri lalu mencoba berjalan mondar mandir. Tak ada rasa nyeri di bagian bawah tubuhnya. Ia baru bisa bernafas lega.

"Kamu ngapain?" Nara muncul dari balik pintu itu secara tiba-tiba mengejutkan Gesa.

Gesa tersenyum canggung "enggak ma" ucapnya.

Nara tersenyum. Ia mendekati putrinya lalu memeluknya dengan sayang "jangan pergi lagi nak, mama khawatir" tangannya mengusap lembut rambut Gesa.

Gesa tidak menjawab. Ia membalas pelukan mamanya sangat erat.

"Kalau ada masalah bilang saja sama mama, jangan pergi lagi" mata Gesa terlihat seperti kilauan berlian saat dilapisi oleh air matanya. Ia ingin sekali mengadu namun suaranya seperti tertahan di tenggorokan.

"Mandi lalu sarapan, gak usah sekolah dulu" ucap Nara lembut.

Gesa mengangguk lalu pergi kekamar mandinya setelah Nara juga keluar dari kamarnya. Pintu putih itu juga ia kunci dari dalam. Takut kalau kedua adiknya dengan tidak sopannya masuk.

Tubuhnya ia rendam dalam bak kamar mandi. Kepalanya terus menerus berputar memikirkan hal lain. Bagaimana dengan Eza? Laki-laki itu pasti tengah mencarinya karena ia dibawa pergi paksa. Ponselnya masih disita oleh Rendi, jadi Gesa tidak mempunyai akses apapun untuk bisa menghubungi pemuda itu.

Setelahnya ia membaluti tubuhnya dengan celana dan baju yang panjang. Gesa harus selalu waspada saat dirumahnya.

Kakinya yang kurus itu menuruni tangga satu demi satu. Dilantai satu ini hening seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Ia menuju dapur atau ruang makan namun tak ada orang satu pun. Gesa melihat keruang tamu tadi juga sepi. Ia pun menuju taman disamping rumahnya tepatnya di kolam renang, hanya menemukan bibi Niah disana yang tengah menyirami bunga-bunga.

"Bi, semua orang kemana?" Tanya Gesa.

"Nyonya dan tuan sudah berangkat kerja non, tuan muda juga sudah pergi kesekolah semua"

Tunggu! Apakah ini masih terlalu pagi? Atau dia saja yang mandi kelamaan? .

"Ah iya, makasih ya bi"

Gesa berlalu dari sana. Ia memasuki pintu kamar yang berada dilantai dua paling ujung. Ini kamar kedua orangtuanya. Gesa membuka seluruh laci atau lemari pakaian untuk mencari ponselnya. Matanya berbinar saat menemukan benda persegi panjang itu didalam laci nakas.

Gadis itu menutup kembali pintu kamar kedua orangtuanya setelah merapikan barang-barang yang tadi ia buat acak-acakan.

Dapat ia lihat kalau banyak sekali notifikasi panggilan maupun pesan dari sebuah nomor yang diberi nama Eza.

"Lo kemana aja? Gue panik tau gak!" Gesa agak menjauhkan ponsel dari telinganya setelah mendengar teriakan dari seberang sana.

"Gue dirumah, kalo ketemu aja gue ceritain" jawabnya.

"Gue jemput, lo pasti gak nyaman disana"

"Gak! Jangan!" Larang Gesa.

"Kenapa? Kalo lo disana bakal dilecehin adik lo"

"Eza gue pasti bisa jaga diri"

"Gak! Lo gak bisa! Lo butuh gue!"

"Enggak! Kalo ada apa-apa gue pasti ngehubungin lo" Gesa mematikan panggilan itu sepihak. Ia merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar namun pikirannya terus saja berisik hingga membuatnya pusing.

Setelah beberapa jam, ia mengembalikan ponselnya ditempat semula. Ia takut kalau Rendi marah karena dengan lancangnya ia mengambil ponselnya tanpa izin dari laki-laki paruh baya itu. Karena hukumannya masih belum berakhir.

>>>

Eza menatap layar monitor itu kesal. Ia terus menerus memutar rekaman dikamar apartemennya. Gadisnya yang lemah berusaha memberontak, melawan laki-laki bertubuh lebih besar darinya yang ada didepannya namun dengan pengecutnya dia malah menyuntikkan obat bius pada leher gadis itu hingga membuatnya terlelap.

Tangannya terkepal kuat saat adik dari gadisnya itu mengendong tubuh ramping Gesa ala bridal style.

Apalagi ia dapat melihat dengan jelas kalau remaja itu juga mencium dahi gadisnya. Eza merutuki kebodohannya. Seharusnya ia tadi selalu bersama Gesa dan mengabaikan panggilan dari teman yang meminta bantuannya sehingga kejadian ini tidak pernah terjadi. Namun semua sudah terlambat. Meninggalkan Gesa di apartemen sendirian adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan.

.
.
.
Next..

The Twins (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang