dua belas

6.2K 168 3
                                    

Sudah lima hari lamanya ia tinggal di apartemen Eza. Dan sudah lima hari juga ia membolos sekolah. Dihari ke enam ini Gesa ingin sekali pergi ke sekolah namun ia sangat takut nanti malah bertemu dengan kedua adik gilanya itu. Ia tidak mau bahkan untuk melihat wajah mereka.

Eza datang menbawa camilan ke dalam kamar. Pemuda itu juga ikut membolos bersama Gesa. Menurut penyelidikannya, dua bocah kembar itu masih terus mencari informasi mengenai kakak mereka.

Dimulai dari menanyakan pada teman-teman lamanya atau teman sekelas. Rendi atau papa mereka itu sama sekali tidak mendapatkan titik terang, akibat terlalu sibuk dengan pekerjaannya beliau juga belum sempat lapor pada badan kepolisian untuk melaporkan hilangnya anaknya.

Yaa, Eza tidak khawatir selagi tempat tinggalnya belum diketahui oleh mereka. Ia sama sekali tidak membuka mulut saat teman-temannya menanyakan alamat rumahnya dulu. Dia juga sangat berhati-hati jika keluar rumah sekedar belanja.

"Nonton film kalo ga ada pop mie tuh kek hampa banget" ucap pemuda itu. Ia menata semua camilan dan minuman diatas meja lalu membuka laptopnya dan memilih-milih film untuk mereka tonton saat ini.

"Kenapa ga buat?" Sahut Gesa, ia turut membantu Eza.

Eza menghentikan aktivitasnya, lalu menatap mata itu. Mata yang cantik namun sayu.

"Habis stoknya" jawabnya. Ia menyesal, kenapa saat belanja kemaren ia lupa membeli makanan yang sangat penting itu.

"Biar gue yang beli" Gesa menawarkan diri untuk membelinya di minimarket yang dekat dengan apartemen pemuda itu.

Eza diam karena berpikir. Lalu mengiyakan tawaran gadis itu. Selembar kertas merah disodorkannya pada Gesa yang tengah menguncir rambutnya acak, membuatnya tampak gemas.

"Beli sepuluh yang pedes, lo juga boleh beli makanan lain" ucap Eza.

Gesa mengangguk lalu pergi menuju minimarket. Eza tidak ikut karena akan membuat kejutan untuk gadisnya yang akan berulang tahun.

Suara langkah kaki yang dilindungi oleh sendal kebesaran milik Eza mengema di jalanan. Gesa menatap sekitar sambil tersenyum. Ketakutan akan kedua adiknya perlahan sirna akibat pemuda itu. Laki-laki yang menjadi sahabat sekaligus cinta pertamanya.

Gesa bahagia. Sungguh. Ia merasa senang jika tinggal satu atap dengan Eza. Pemuda itu sangat baik. Selalu membuatnya nyaman dan tidak pernah meninggikan nada bicaranya.

Sampai di minimarket matanya langsung bergerak ke segala penjuru untuk menemukan keberadaan mie instan kesukaan umat manusia, apalagi jika akhir bulan.

"Semuanya total 94 ribu mbak" ucap pelayan kasir yang baru saja menghitung total belanja Gesa. Ia menyerahkan selembar berwarna merah lalu menerima kembalian.

Setelahnya ia melangkah keluar. Jalanan hari ini sangatlah ramai. Banyak polusi dari kendaraan menyebar lalu berbaur dengan oksigen yang dihirup manusia. Beberapa kali Gesa melambai-lambaikan tangannya didepan wajah untuk menghalau asap kendaraan itu. Ia dengan langkah cepat agar bisa segera masuk ke gedung apartemen supaya terhindar dari polusi.

"I found you baby" ucap seseorang ditengah kerumunan.

>>>

Tangan mungil itu menempatkan kartu akses masuk apartemen dan tangan yang satunya lagi memegang sekantong kresek besar yang berisi belanjaannya.

Dress yang ia pakai melambai-lambai mengikuti langkah gerakan gadis itu. Dress panjang selutut berwarna soft pink dengan motif flamingo itu terlihat sangat manis bila dipakai Gesa.

Alis yang tertata rapih dengan alami itu menyatu. Ia sama sekali tidak menemukan keberadaan Eza dikamarnya, bahkan laptop mahal itu masih menyala.

Gesa mengambil ponselnya yang dibelikan oleh Eza waktu mereka belanja untuk menghubungi laki-laki itu. Ia meletakkan ponselnya kembali setelah mendengar nada dering sebuah ponsel dari  balik selimutnya. Ternyata itu ponsel Eza.

Darr.....

Gesa terkejut hingga menutup telinganya saat mendengar bunyi ledakan dari arah belakang.

"Haha... eh maaf maaf, kaget yaa?" Eza tidak pernah mengira kalau convety atau kertas kembang api itu akan mengeluarkan suara yang lumayan keras. Ia memeluk Gesa sambil menepuk-nepuk punggung gadis itu.

"Kenapa ngagetin?" Tanyanya.

Eza tidak menjawab, laki-laki itu malah pergi keluar kamar dan kembali membawa kue matcha lengkap dengan lilin diatasnya yang menyala.

Otak Gesa masih mencerna dan menatap Eza sampai dia menaruh kue cantik itu pada meja kecil setelah menyingkirkan camilan-camilan.

"So.... surprise.... maaf ya kejutannya garing dan ini masih siang padahal..... tapi kalo nanti malem bakalan lebih telat lagi dan kasian lo nya, nanti ngantuk malah ditahan" ucap Eza lembut.

Gesa tersenyum. Ternyata hari ini ulang tahunnya, ia sendiri bahkan lupa.

"Makasih ya Za" ucapnya tulus.

Eza mengangguk. Ia menyuruh Gesa untuk menutup mata lalu meminta permohonan dan gadis itupun menurut kemudian meniup hingga mati lilin-lilin itu.

Gesa bahagia. Ia masih tak menyangka kalau teman sekaligus cinta pertamanya itu membuat sebuah kejutan seperti ini untuk dirinya. Sungguh. Gesa sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Eza. Dia pria yang baik.

Siang ini mereka habiskan waktu berdua. Seperti menonton beberapa film dengan genre apapun sembari memakan camilan dan juga kue matcha itu sampai sore.

Malamnya mereka memasak bersama saat perutnya merasakan lapar lagi. Eza menceritakan pengalamannya saat ia pindah ke kota Prancis  mengikuti ayahnya. Ia juga bercerita mengenai teman-temannya disana tapi lebih ke arah membicarakan tentang aib mereka.

"Lulus nanti liburan yuk" ajak Eza.

"Ga tau, liat kedepannya" jawab Gesa.

"Gue maksa! Dan bakal gue tanggung semua"

"Banyak amat duit lo"

"Bisnis gue"

"Bisnis apaan? Perasaan Om Niko gak pernah mercayain bisnisnya sama lo"

"Ah lo gak tau aja kalo gue pinter porotin bokap gue"

Gesa menyatukan alisnya karena merasa ambigu dengan ucapan laki-laki ini.

Eza yang paham pun langsung menjelaskan "ngawur otak lo, gue plorotinnya lewat nyokab lah, lo tau sendiri nyokap gue baik banget" jelasnya.

"Yasih, tante Deana baik banget, gue bahkan dianggap anak sendiri"

"Makannya nikah ma gue, ntar hidup lo bahagia" Gesa menyenggol lengan laki-laki itu lalu tersenyum.

"Sakit yang" ucapnya pura-pura kesakitan sambil memegangi lengannya yang disenggol Gesa tadi.

"Idih" gadis itu memilih pergi ke dalam kamarnya lalu menguncinya dari dalam. Ia memegangi dadanya yang berpacu dengan cepat. Gesa merasa senang bila Eza memangilnya 'yang' tadi. Kedua tangannya menutupi wajahnya yang memerah.

Eza sendiri merasa gemas melihat tingkah gadisnya itu. Gesa tuh pendek jadi kalau membuatnya salah tingkah seperti tadi membuatnya seperti anak kucing yang menggemaskan. Ia pun tersenyum sendiran di ruang tamu itu dan mungkin jika ada seseorang pasti menganggap Eza sudah gila.

Ia semakin tidak tahan untuk menjerat Gesa kebih dalam lagi hingga gadis itu tidak butuh cinta lain bahkan dari kedua orangtuanya.

.
.
.
Next..

The Twins (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang