dua puluh dua

4.2K 165 11
                                    

Ujung bolpoin itu diketuk-ketukan ke meja kafe. Kepala Gesa memikir keras untuk menyelesaikan tugas kuliahnya ini. Haura yang duduk didepan dan satu fakultas dengannya pun sama sekali tidak membantu. Tugas gadis itu sudah selesai dari awal dan perlu digarisbawahi kalau Haura tuh pelit banget dengan jawaban.

Tapi Gesa tidak yakin kalau jawaban tugas gadis itu semuanya benar. Karena Haura tipikal orang yang malas belajar, apalagi kalau materinya susah.

"Laper banget gue" keluh nya.

"Yaudah tinggal pesen lagi" saran Gesa.

"Gak boleh, gue harus diet. Lo juga! Kalo nyetok jajan tuh jangan ketahuan gue napa" kesal Haura.

"Ya terserah aku lah, kan duit aku juga!" Jawab Gesa ngotot.

"Kalo ketahuan gue, guenya ikutan pengen gila! Gue tuh pengen diet"

"Ngemil sayuran aja"

"Pait"

"Terserah"

Mereka memang tinggal bersama. Bertiga!?. Dan Eza juga tentunya. Kamar mereka terpisah. Kamar putri dilantai atas dan putra dilantai bawah. Rendi membangun rumah dulu sebelum menyuruh putrinya untuk tinggal di negara Perancis ini.

Kamera pengawas selalu terpasang disegala penjuru. Rendi juga menempatkan dua bodyguard di bagian depan rumah untuk penjagaan. Dia akan selalu berkunjung kesini setiap hari minggu satu bulan sekali untuk mengecek keadaan putrinya.

Pria paruh baya itu membeli keperluan putrinya dalam pengawasannya. Para ayah dari kedua sahabat putrinya pun melakukan tindakan yang sama. Untuk kendaraan para ayah sengaja tidak membelikan satu pun untuk mereka karena Rendi memilih membangun rumah yang dekat dengan kampus mereka. Jadi kalau berangkat hanya perlu berjalan kaki saja.

Seorang waiters datang dengan pesanan yang dipesan Haura. Lihatlah, mulut dan tubuh gadis itu salik bertolak belakang. Makanan yang dipesan pun pedas dan berminyak semua, bagaimana tidak jika tubuh Haura semakin gendutan.

"Lo abisin deh Sa" ucap Haura. Ia bersender pada sandaran kursi kafe lalu mengusap-usap perutnya yang agak sedikit membuncit.

"Hah? Enggak mau lah, kan lo yang pesen, gue ga suka pedes" tolak Gesa.

"Ayolah Sa, demi sahabat lo" pintanya memohon.

"Enggak enggak, Eza aja nanti. Tu cowok kemana juga sih lama banget"

Haura menghembuskan nafasnya kasar. Ia lupa kalau Gesa benci makanan pedas, tapi kalau nanti ia makan makanan manis bakalan nambah juga kolesterolnya.

"Buset gue gak diajak" ucap seseorang yang baru saja tiba dengan nafas yang ngos-ngosan.

"Dari mana aja sih lo? Gue udah lumutan disini tau gak" ucap Haura kesal. Mungkin karena pedas dari makanan yang ia makan masih tertinggal di mulutnya.

"Udah... makan dulu ini, Haura pesennya kek mau kasih makan satu RT" Gesa menyodorkan beberapa piring makanan yang sudah dipesan Haura tadi. Bukan satu atau dua porsi, melainkan lebih dari lima. Makanan berat dan penutup pun semuanya pedas.

"Pas banget gue laper" ucap Eza, ia mulai memakan makanan itu.

Gesa melanjutkan lagi belajarnya. Meja kafe ini sangat nyaman dan lebar, jadi tak masalah jika menaruh lebih banyak barang diatasnya. Lagu-lagu klasik yang santi dengan interior pada zaman romawi. Mejanya kayu dengan ukiran cantik yang timbul lalu dilapisi kaca bening yang tebal.

Sesekali Gesa menulis pada kertas putih itu lalu memikir lagi. Eza memperhatikannya sambil terus makan. Gadisnya itu sangat cantik. Rambut digerai lurus dan panjang dengan aksesoris jepitan kecil. Dress putih gading dengan bunga-bunga kecil yang berwarna putih sebagai batik. Makeup tipis-tipis di wajahnya yang cantik, membuat Gesa seperti pemeran utama dalam dunia fiksi atau film. Karena gadis itu terlalu sempurna.

The Twins (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang