Gilang masih menekuk wajahnya saat di kelas. Dia benar-benar kesal dengan Alvia yang tak memperdulikannya. Sikap gadis itu betulan membuat dia kesal. Sangat kesal. Alvia sendiri bahkan memperankan perannya dengan baik seakan dia dan Gilang berteman seperti biasa.
Tidak tahu saja jika Alvia dan Gilang sudah memiliki hubungan yang spesial nan khusus menurut Gilang. Gilang menoleh pada Alvia yang mengobrol santai bersama teman yang lain.
Dia mendengkus marah lalu kembali menoleh pada Alvia, menatap sengit gadis itu.
"Lo ngapain liat Alvia segitunya?" bisik Fatah di sebelahnya, mengikuti arah pandang Gilang.
Gilang menoleh dengan cepat dan menoyor kepala Fatah dengan keras. "Lo ngapain di sini?" teriak Gilang menatap horor Fatah.
"Kan, tempat duduk gue di belakang lo, goblok!" seru Fatah tak mau kalah.
Gilang menghela napa kasar dan membetulkan posisi duduknya menghadap depan.
"Lo kenapa, Lang? Datar banget kayak papan tulis." Derrel seketika terbahak mendengar celetukan Fatah. Memang sangat terlihat sekali jika ekspresi wajah Gilang saat ini terlihat datar. Tidak seperti biasanya yang ekspresif.
"Biar gue tebak. Ini karena Alvia kagak?" Derrel mencoba menebak penyebab yang membuat ekspresi Gilang datar.
"Ngapain juga tiba-tiba lo nyeplos karena bocah tengil itu," sungut Gilang. Mood-nya betul-betul buruk saat ini hanya karena kesepakatan yang terpaksa dia setujui.
Derrel menoleh pada Fatah dan mengangguk kompak. "Fix! Terdeteksi gara-gara Alvia ini, Fat," sahut Derrel terkekeh.
"Vi! Gilang lagi pundung, Vi!" Dengan santainya, Fatah berteriak memanggil Alvia dengan kondisi kelas yang sudah lengkap.
Sementara si gadis penyebab ekspresi Gilang menjadi datar, kini menolehkan pada segerombolan para laki-laki. Termasuk Gilang, Fatah, dan Derrel di sana.
"Pundung kenapa?" balas Alvia setengah berteriak.
Fatah tergelak sebelum membalas. "Katanya lo penyebabnya," terang Derrel yang kini ikut menjawab lalu tertawa meledek diikuti Fatah dan yang lain.
Alvia ikut tertawa, cukup terhibur dengan Gilang yang merajuk. Sebenarnya, dia sendiri sudah tahu jika laki-laki itu sedang kesal dan merajuk padanya. Namun, sekali lagi, ini di sekolah dan sesuai kesepakatan semalam, hubungan mereka tidak boleh ada yang diketahui oleh orang lain. Siapapun bahkan dengan kedua orang tua mereka.
"Biarinlah. Gue nggak tahu dia kenapa begitu," jelas Alvia dengan sisa tawa yang masih belum reda.
***
Hari Sabtu mereka akan pulang lebih awal dari hari yang biasanya. Pulang lebih awal tak membuat mereka senang begitu saja. Tugas-tugas yang membuntuti mereka demi mengejar nilai yang tinggi untuk ketentuan kelulusan mereka.
Satu demi satu tugas datang begitu saja untuk para murid. Terutama untuk murid tua seperti kelas 12. Berbagai tugas proyek, makalah, dan presentasi harus mereka kerjakan hingga selesai.
"Mendekati kelulusan gue takut banget, deh," celetuk Liana sembari memasukkan gorengan ke dalam mulut. "Gue takut nggak maksimal dengan hasilnya nanti. Gue juga kepikiran, nanti nilai gue bakal tinggi nggak, ya, atau gue bakal bisa menyelesaikan dan menjawab tugas ini nggak, ya," sambung Liana menuangkan keresahan isi hatinya di kantin.
"Sama-sama. Gue juga begitu, kadang gue sampai pusing sendiri mikirinnya," terang Laras menyetujui.
"Gue ... gue juga begitu. Kadang kalau lihat nilai ujian kita yang udah diberikan gitu, gue ngerasa kecewa. Gue mikir, gue udah usaha, tapi kenapa hasilnya nggak sama seperti yang gue lakukan," lontar Mela menambahkan.
Mendadak suasana menjadi melankolis di meja kantin tempat Alvia duduk. Alvia yang semula tidak berpikir terlalu jauh, kini dia ikut-ikutan berpikir apakah dia juga sudah belajar dengan sungguh-sungguh.
Serentak keempat gadis yang ada di meja itu menghela napas. Pundak mereka merosot begitu saja dilanda galau yang mendadak sembari melanjutkan makan mereka dengan tidak selera. Tidak selera pun mereka tetap menghabiskan makanannya.
"Udahlah nggak usah terlalu mellow ginilah. Suasananya jadi gimana gitu," kata Alvia. "Hasil akhirnya kita pikirin belakangan dulu aja, yang penting dan utama kita udah usaha. Belajar jangan sampai kelupaan dan tetep jaga kesehatan juga," tambah Alvia memberi motivasi.
Mela, Liana, dan Laras pun mengangguk menyetujui. Mereka lantas melanjutkan makan mereka yang tersisa sedikit kemudian beranjak menuju kelas setelah benar-benar selesai.
Di depan kelas Alvia, banyak sekali para murid bergerombol. Mereka melihat sesuatu dengan rasa penasaran tinggi sampai-sampai mereka menempelkan tubuh mereka pada jendela.
"Itu Gilang sama Farah, kan?"
"Mereka ada hubungan, ya?"
"Si Gilang bukannya deket sama si Via itu?"
"Itu, mah, mereka emang deket banget. Sering ribut juga malah."
Berbagai sahutan demi sahutan terdengar saat keempatnya melewati gerombolan tersebut. Alvia ikutan penasaran dengan perkataan tadi. Gilang dan farah. Mereka sedang duduk berdua dan bersama di dalam kelas.
Kerutan di dahi Alvia tampak jelas, ekspresinya kentara sekali jika dia penasaran sekaligus kesal dengan perilaku Gilang. Ia jadi berpikir apakah Gilang melakukan itu untuk aksi balas dendam karena ia menolak untuk bergandengan tangan?
Sudut bibirnya mencibir sejenak lalu terkatup rapat ketika dia telah memasuki kelas. Langkahnya terhenti di samping meja guru menyaksikan Gilang yang fokus menjelaskan sesuatu di buku kepada Farah.
Liana yang sudah di bangku masih belum duduk. Dia yang menatap Alvia lalu berganti pada Gilang dan Farah, seakan mengerti dengan keadaan. Ia menatap Alvia yang terhenti begitu saja di depan. "Vi! Bengong malahan! Gue ada nemu promo bagus, nih, di toko langganan kita."
Berhasil. Liana sengaja melakukan hal tersebut hingga membuat Gilang dan Farah tersentak. Alvia lantas mengedipkan mata dan menghampiri Liana. Ia memukul lengan gadis itu sembari menatap tajam Liana.
"Vi! Nggak makan?" panggil Gilang menyapa Alvia. Dalam hati dia ketar-ketir menatap Alvia di mana tatapan gadis itu juga terlihat kesal.
Gilang melirik sekilas pada Farah yang terdiam, menatap Alvia dan yang lain. Farah pun ikut menatap mereka lalu menatap Gilang untuk melanjutkan penjelasannya.
"Lang, ayo lanjutin ini gimana?" tanya Farah meminta Gilang untuk menjelaskan.
Gilang merasa tidak nyaman seperti tadi. Ia merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasinya hingga dia gelisah dalam kondisi duduknya. Hal itu juga yang malah membuat Farah bingung.
"Lo kenapa, Lang?" tanya Farah.
Gilang berdeham menatap Farah lalu bergantian menatap ke arah Alvia dan ketiga temannya yang lain ikut menatap ke arahnya.
Gilang tertawa canggung. "Nggak papa. Sampai mana tadi?" Sebisa mungkin Gilang bersikap biasa saja. Dalam hati dia merutuki, ia jadi merasa seperti melakukan selingkuh secara terang-terangan. Sialan!
Inilah kenapa Gilang tidak mau melakukan hubungan backstreet seperti ini. Apalagi tidak ada satupun yang mengetahui jika Gilang dan Alvia sudah bukan hanya berteman lagi, melainkan lebih daripada teman.
Selingkuh terang-terangan nggak tuh 😭
Si Gilang emang bikin hiiihh 🤌
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...