8

545 89 2
                                    

"Masuklah."

"Tak mau."

"Setidaknya kau bisa mewakilliku."

"Tidak mau. Kalau kau masuk aku juga masuk." Kataku ngotot. Voting untuk menentukan hyunsu bakal tetap tinggal atau di usir sedang berlangsung. Si kacamata juga menyuruhku untuk masuk kedalam tapi dia tidak memaksa hyunsu ikut.

"Dia jelas akan diusir. untuk apa?."

"Angkat tangan saja. Aku mau dia keluar." Terdengar samar-samar suara dari arah dalam.

"Kenapa diluar? Dihukum tidak mengerjakan pr?." Terdengar suara perempuan menyapa pendengaran ku. Mataku masih terpejam menikmati waktu luang yang ada.

"Dia tuli?." Tanyanya lagi pada Hyunsu.

"Hanya kelelahan." Balas Hyunsu. Ku rasakan suara sepatu berjalan meninggalkan kami berdua. Sepertinya gadis itu sudah pergi.

"Aku tak setuju." Suara gadis itu kembali terdengar. Tapi kenapa dia menolak hyunsu untuk diusir, padahal tadi ia mengeluh Hyunsu dan aku sangat merepotkan.

"Kau belum cukup umur."

"Apa ini pemilihan presiden? Umur tak penting."

"Beraninya kau membantah?. Bicaralah yang sopan kepada orang tua." Si tua bangka itu masih saja berbicara kesopanan. Padahal dia sama sekali tidak patut di hormati.

"Kau mengumpat?. Aku bisa menjadi ayahmu. Beraninya kau!!."

"Bukan begitu...kau terbaik."

"Jihye...kau tidur?." Suara Hyunsu masuk dengan pelan ke telingaku. Ketika ku buka mata terlihat wajah hyunsu yang sangat dekat, hanya berjarak beberapa centi saja. Ia melotot, reflek menjauhkan wajahnya dengan muka yang memerah. Ku rasakan pipi ku juga memanas, sepertinya efek aku belum mandi.

"Ak-aku kira tidur." Ujar hyunsu sambil menggaruk kepalanya. Ku gelengkan kepalaku pelan, sambil mengigit bibir dalam. Ku lanjutkan mendengarkan mereka dari luar.

"Mengusir nya itu....bagian dari pembunuhan." Aku kenal suara ini, si kacamata. Tapi aku tidak salah dengarkan? Dia yang tadi terus menerus bilang aku akan mati dan mengatai hyunsu monster, tapi sekarang? sebenernya apa yang ia rencanakan.

"Privasi? jangan bercanda. Aku mau dia keluar. Keluar!."

"Pembunuh? Kita melakukan ini agar bisa hidup. Tak perlu takut."

"Pak tua itu." Desisiku marah.

"Kau tidak angkat tanganmu?."

"Apa?..itu.."

"Cepat angkat tanganmu. Bodoh."

"Pilihan kami adalah privasi. Bukankah lebih baik kalau kita tidak tahu pilihan masing-masing?."

"Pemungutan suara di negara demokrasi itu wajar." Ternyata masih ada orang waras diantara mereka, tentu kak jisu dan kak jaehoen juga waras.

"Demokrasi? Dunia akan segera kiamat." Teriak pak tua, suaranya sangat menyebalkan.

"Berhenti memanggil nama istrimu begitu dan berkata kasar. Itu sangat menyinggung."

"Dasar kau...beraninya kau..."

"Hentikanlah." Perkataan nya mampu membuat pak tua itu berhenti, sepertinya ia sangat di segani. Aku harus beraliansi dengannya.

"Kau tidak ingin memilih?." Tanya si kacamata yang berdiri di pintu.

SWEET HOME ••• [ FIGHTING to STAY ALIVE ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang