Matahari yang menerobos masuk dari kain jendela yang cukup tipis, belum lagi dengan dering ponsel. Membuatku terbangun dan mengecek siapa yang menelepon pagi-pagi sekali.
Melihat nama yang tertara membuatku langsung bangkit dan mengucek mataku.
"Kak sori gue ganggu lo jam segini. Gua cuma mau ngabari kalau ... bang Alby ... drop. Sekarang dirawat di rumah sakit. Aku sekarang di jalan mau ke rumah kakak."
Air mataku langsung jatuh. Kabar yang membuat sesakit itu mendengarnya.
Aku mengusap air mataku. "Kenapa bisa ..., Kan? Ke-marin ... kemarin bukannya baik-baik aja?"
"Nanti diceritakan di sini ya, Kak. Ini aku udah mau sampai rumah kakak."
Tanpa mempedulikan apapun, aku segera beranjak untuk mengganti pakaian. Asal ambil saja. Aku segera bersiap dengan cepat-cepat. Tanpa dandan, tanpa sisiran hanya mengikat rambut asal. Aku lantas mengambil ponselku dan ke luar dari kamar. Menunggu kedatangan Arkan yang menjemput di teras rumah.
Begitu melihat mobil yang aku kenal, langsung aku mengunci pintu rumah dan menghampiri mobil itu.
Di dalam mobil tak ada percakapan. Aku memilih diam dengan hati yang tidak tenang memikirkan keadaan Alby. Baru kemarin aku dan dia bahagia. Namun ternyata Tuhan sebercanda itu dengan hidupku.
"Ya Tuhan ... aku mohon jangan ambil dia dariku."
"Kak, udah sampai." Aku segera menoleh dan benar saja, sudah sampai di depan rumah sakit. Langsung aku membuka pintu mobil dan ke luar.
Setelahnya aku hanya mengikuti langkah Arkan. Sampailah kami di ruang ICU. Perasaanku tak karuan saat melihat ayah dan bundanya Alby saling berpelukan di depan sana. Ku pejamkan mata, menepis semua pikiran buruk tentang kondisi Alby. Aku yakin, lelaki itu pasti baik-baik saja.
Alby janji tidak akan ke mana-mana. Dia sudah berjanji padaku untuk tidak pergi dengan tiba-tiba.
"Kak? Kok berhenti?" tanya Arkan. Sepertinya dia menyadari langkahku yang perlahan berhenti.
Aku hanya menggeleng dan melanjutkan langkah mendekati orang tua Alby.
"Bunda ...." Bunda langsung melepas pelukan dan menoleh ke arahku. Bunda Rini menghampiri dan memelukku saat aku kembali menangis.
"Bun ..., apa ... apa yang terjadi? Bukannya Alby baik-baik aja? Apa ... apa karena karena jalan sama aku? Maaf, Bun .... Maaf ...."
"Hey, bukan salah kamu. Bunda justru bersyukur karena kamu. Bunda bisa melihat senyum Alby selebar itu kemarin. Dia cerita banyak tentang kamu, Rin. Ta-pi ..., saat semuanya sudah tidur Alby kambuh. Dan kali ini cukup parah sampai harus dirawat di ICU."
"Keadaan Alby sekarang gimana, Bun? Dia baik-baik aja 'kan? Dia masih ada sama kita 'kan, Bun? Aku nggak mau ... aku nggak mau Alby pergi, Bun ...," racauku.
Pelukan terlepas, bunda memegang kedua pipiku yang sudah sangat basah dengan air mata. Aku bahkan tak sanggup melihat mata dari sosok wanita di hadapanku. Karena aku tahu, bunda pasti orang yang paling sakit. Dan aku malah membuat semuanya semakin terpuruk.
"Bun ..., maaf. Nggak seharusnya aku nangis di depan bunda yang juga sedang juga nggak baik-baik aja."
"Gapapa, kalau itu yang buat kamu tenang. Sekarang kamu lihat bunda, ya? Kamu tenang aja. Bunda yakin, anak sulung bunda tidak akan pergi. Dia kuat, kamu harus yakin itu. Alby nggak mungkin pergi secepat itu."
"Aku boleh lihat Alby?" tanyaku. Sungguh, walaupun aku pasti tak akan sanggup untuk melihat langsung sosok Alby yang terbaring lemah di sana. Tapi aku ingin sekali menggenggam tangannya. Ingin bilang, 'Aku masih di sini. Jadi, Kamu jangan pergi, By.'
Bunda mengangguk. "Ayo, Bunda antar kamu ke dalam. Kita harus ikutin prosedurnya dulu, ya." Aku hanya mengangguk dan mengikuti bunda.
Begitu masuk, bunda kembali ke luar. Memberikan diriku ruang sendiri untuk bertemu dengan Alby, kekasihku.
Aku mendekati brankar Alby dengan perlahan. Semakin dekat, semakin terdengar suara mesin dan alat yang melilit tubuh Alby. Alat yang membuat Alby tetap bertahan.
Kini aku bisa melihat wajahnya tertidur dengan tenang. Air mataku kembali jatuh, namun langsungku hapus. Karena Alby tak suka melihatku menangis.
Aku menggenggam tangannya dengan hati-hati. Mendekatkan bibirku ke samping telinga Alby. "By, ini aku. Pacar kamu. Bangun dong, By. Aku udah di sini. Kamu udah janji nggak akan tinggalin aku 'kan? Jadi kamu harus bangun, ya?"
Kembali aku duduk dengan masih tidak melepaskan tautan tangan yang tak terbalas.
Pada menit ke dua puluh lima, aku bisa merasakan tangan Alby yang bergerak. Lantas membuatku langsung melihat mata Alby yang kini perlahan terbuka. Dalam hati kuucapkan rasa syukur. Tidak tahu lagi jika kemarin itu adalah terakhir kalinya aku bisa melihat mata indah milik Alby.
"By? Kamu bisa dengar suara aku? Apa yang sakit?"
Alby tak meresponku, membuat diriku dilanda kepanikan. Aku bangkit untuk segera memanggil dokter namun, tanganku digenggam erat oleh Alby.
"Gar ... rin ... ni ...." Aku mengangguk semangat diikuti dengan aliran sungai yang turun dari mataku, terharu.
"Iya, ini aku. Aku panggil dokter dulu, ya? Biar kamu diperiksa. Nanti kita bicara banyak kalau kamu udah dipindahkan ke ruang rawat. Nurut, hm?" Kali ini aku bisa melihat Alby mengangguk kecil.
Membuatku langsung ke luar dari ruang ICU. Menatap mata ketiga orang di hadapanku. Mereka pasti sangat berharap ada kabar baik.
"Alby ..., Alby bangun."
゚+*:;;:* *:;;:*+゚
Kamu tahu? Seberapa takut aku, jika kamu tidak lagi membuka mata.
-- Garini Ariani Anastasya
![](https://img.wattpad.com/cover/350422732-288-k547099.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Hari Sebelum Kamu Pergi | Na Jaemin Lokal
ФанфикJudul Awal: Langit tanpa Biru. Tentang kisah mereka yang membekas, dengan waktu terbatas. .... Ini tentang aku, mencintai lelaki yang umurnya tidak lama lagi. Ini tentang dia, lelaki kuat yang selalu tersenyum di kala sakit menyerang, tidak ada kat...