TTM 33 - UNGKAPAN

92 8 4
                                    

Alvia baru saja turun dari motor salah satu ojek online yang tadi dia pesan saat di rumah Liana. Ia mengeluarkan selembar uang pas untuk Abang ojek tersebut, membayar ongkosnya.

Alvia berterima kasih dan melirik sekilas pada rumah di sebelah. Menemukan Gilang yang sedang duduk sembari memainkan gitar. Sekilas kedua matanya bertabrakan saling tatap. Alvia yang pertama kali memutus kontak dan segera masuk ke dalam rumah.

Ingat, dia masih ingin mendiamkan laki-laki itu. Entah sampai kapan acara mendiamkan Gilang berakhir ... yang jelas untuk saat ini Alvia tak mau berbicara terlebih dahulu dengan laki-laki itu. Dia mengerutkan kening, menutup pintu kamar dan terdiam berdiri di balik pintu. Alvia penasaran, sejak kapan Gilang bisa memainkan gitar seperti tadi.

Alvia seakan tersadar dari pikirannya, ia kembali melangkah menuju ranjang. Melempar slingbag yang dia pakai dan bergumam. "Lo masih marahan, ya, sama dia. Ck! Dasar pikiran gue!"

Gadis itu menuju ke meja kecil yang terdapat bangku berukuran sama dengan meja. Alvia mulai duduk mengambil salah satu skincare yang dia gunakan beserta kapas. Sebelum mandi, ia akan membersihkan wajahnya terlebih dahulu.

Pikirannya menerawang terbagi antara sekolah dengan hubungannya dengan Gilang kini berstatus pacaran. Hanya saja, dia sendiri yang tak mau jika status tersebut diketahui oleh semua orang. Baru saja kemarin mereka meresmikan hubungan mereka yang terlah berganti, kini ada saja yang membuat dia panas hati.

Terlalu fokus dengan pikirannya, Alvia tersentak dengan getaran ponselnya di meja yang menimbulkan suara. Ia menjeda sejenak kegiatan skincare-nya dan meraih ponselnya.

Gilang
Lo nggak pengen ketemu sama gue?

Jemari Alvia bergerak dengan lincah menyentuh huruf-huruf di layar ponsel, membalas pesan Gilang. Belum selesai, satu pesan lagi masuk.

Gilang
Gue kangen sama lo.

Sepintas ... terlihat sepele, tetapi justru itu membuat kedua pipi Alvia memanas begitu saja. Alvia berdecak, beranjak dari duduknya seakan memberi jarak pada dirinya dan ponsel.

"Wahh! Sialan, ini si Gilang!" gumam Alvia memegang kedua pipinya seraya menepuk-nepuk. Ia mengambil kasar ponselnya, menghapus text yang tadi sudah dia ketik lalu mematikan ponsel tersebut.

Edan! Bisa-bisanya laki-laki itu. Alvia kembali menaruh ponsel dan menatap horor ponselnya. Sebenarnya, Alvia sangat nyaman jika berada dekat dengan gilang. Ia juga sadar dengan perhatian Gilang yang jika dilihat bukan hanya perhatian biasa, tetapi bagi dia yang masih polos dengan percintaan ... Alvia merasa itu hal yang menggelikan sekaligus membuatnya merasa senang.

Alvia merasa menggelikan, karena hal tersebut mereka alami saat masa sekolah akhir. Memang, teman-temannya yang lain sudah berpacaran bahkan hal tersebut dianggap penting dan biasa, tetapi tidak bagi Alvia.

Entah karena mungkin efek dia tidak memiliki pengalaman dalam hubungan percintaan atau bagaimana. Sejujurnya, hubungannya dengan Gilang pun merupakan kisah cinta pertamanya. Benar, Gilang adalah cinta pertamanya bagi Alvia.

Oh, astaga! Alvia ingin tertawa saja dengan pikirannya kali ini.

Alvia sendiri kesusahan untuk mengekspresikan perasaannya terhadap Gilang, maka dari itu dia selalu menampakkan sikap seperti memusuhi laki-laki itu. Akan tetapi, di suatu waktu, dia juga merasa marah melihat kedekatan Gilang dan Farah.

Ia merasa untuk apa Gilang harus sedekat itu dengan Farah jika dia memiliki rasa 'cinta' untuknya. Bisa dikatakan, dia sedang cemburu dengan kedekatan mereka. Tersadarkan dengan pikirannya yang membuat dia geli sendiri, segera ia membersihkan diri.

***

"Gabut banget, anjir!" gumam Gilang sedang rebahan di ranjang dengan kedua tangan terlentang lebar.

Ia mengganti posisinya menyamping, mengambil ponsel yang tak jauh darinya. Tidak ada pesan atau telepon masuk sama sekali di ponselnya, bahkan pesan untuk Alvia sedari tadi belum dia balas sampai sekarang.

Gilang sendiri bingung harus meluruskan salah paham ini kapan jika Alvia sendiri bertingkah menghindar. Ia menghela napas kasar beranjak dari kasur dan menatap keberadaan gitar yang lama tak tersentuh.

"Gue gitaran aja kali, ya." Cepat Gilang beranjak, mengambil gitar tersebut. Ia berpindah tempat sekaligus mengambil gitarnya.

Gilang duduk di salah satu kursi di depan teras yang memang tersedia di sana. Ia mengelap terlebih dahulu gitarnya, lalu mencoba untuk memetiknya mencoba satu lagu. Dirasa permainan gitarnya masih enak seperti dulu, ia melanjutkan permainan gitarnya dengan beberapa lagu yang dulu dia kuasai.

Sorot matanya menatap pada jalanan serta langit sore. Jemarinya aktif memainkan gitar tersebut serta satu kakinya menghentak ke lantai. Menikmati alunan suara gitar yang keluar.

Terlalu menikmati memainkan gitar, ia menangkap samar-samar sosok Alvia yang baru saja turun dengan ojek online. Ia mendelik yang ternyata penglihatannya betulan menangkap sosok Alvia. Cepat Gilang menaruh gitar di sebelah kursi yang dia duduki ingin mengejar Alvia, namun, kedatangan Dheka membuat ia urung menghampiri Alvia.

Gilang menjadi kikuk di depan abangnya yang lantas menghentikan langkah. "Lo ngapain buru-buru begitu?" tanya Dheka terheran.

Gilang mengalihkan tatap pada sosok Alvia yang kini sudah tak terlihat, ia beralih menatap sinis pada Dheka. "Nggak ada." Nada menyokot terdengar di telinga Dheka. Dheka menatap bingung Gilang yang kini masuk ke dalam rumah.

Gilang kembali masuk ke dalam kamarnya, menaruh gitarnya kesal. Hilang sudah kesempatannya untuk berbicara dengan gadis itu. Laki-laki itu merasa frustrasi sendiri.

Pertama kalinya bagi Gilang merasa frustrasi seperti ini. Ia mengambil ponsel, mencoba menelepon Alvia. Berharap jika teleponnya diangkat. Belum beberapa detik, panggilannya diangkat oleh Alvia.

"Halo?" Gilang mendelik mendengar suara Alvia di seberang. Ia tak menyangka jika panggilannya akan dijawab oleh Alvia.

"Beneran ini yang angkat Via?" tanya Gilang tercengang. Ekspresinya terlihat konyol mengundang tawa.

"Ya, gue sendirilah, Lang!" Gilang sampai menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Hehe ... gue seneng soalnya," ucap Gilang menyengir sendiri di dalam kamar. "Gue kangen sama lo, Vi," tuturnya jujur.

"Tapi, bukan itu yang gue pengen bicarain. Gue mau ngelurusin yang kemarin Sabtu. Lo itu salah paham beneran. Gue nggak ada niatan apa-apa buat deketin Farah. Sumpah! Gue beneran ...." Belum selesai Gilang menyelesaikan ucapannya, Alvia memotong begitu saja.

"Gue tau, gue tau. Cuman gue tetep nggak suka lihat lo deket banget sama Farah. Kalau kata Liana bilang gue cemburu, iya, gue cemburu lihat lo deket sama Farah! Gue nggak suka lihat lo deket sama dia!" sembur Alvia mengeluarkan semua emosi dan perasaan yang mengganjal di hati.

Gilang terperangah mendengar kata-kata yang keluar dari seberang yang terkesan memburu. Ia sampai menampar salah satu pipinya, berharap jika apa yang dia dengar tadi bukanlah mimpi.

Laki-laki itu mendelik setelah merasakan panas di pipinya. Detik selanjutnya, ia memekik girang selayaknya anak kecil. Merasa senang dengan pernyataan Alvia barusan.

Kasih komen yg banyak buat part ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kasih komen yg banyak buat part ini

Tetangga Tapi Mesra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang