"Lang! Gilangg! Lo nggak papa?" pekik Alvia terkejut. Ia menatap horor ponselnya lalu menyahuti kembali memanggil Gilang yang tak kunjung menjawab.
"Gilaanngg!" pekiknya lagi yang justru membuat Ratna penasaran.
Ratna menatap pintu kamar putrinya ketika mendengar suara Alvia berteriak. Ia beranjak dari ruang keluarga dan menengok ke kamar Alvia. Dia mengetuk pintu kamar Alvia sebelum Ratna masuk.
"Vi ...! Ada apa?" seru Ratna mengerutkan kening sembari mengetuk pintu lagi.
Alvia yang berada di dalam, menoleh dengan cepat dan menutup mulutnya. "Nggak ada apa-apa. Aman, Ma." Ia menjawab dengan lantang lantas berbaring menyamping dengan menyembunyikan ponselnya supaya tidak terlalu terdengar. Walaupun, suara Gilang tak mungkin sampai terdengar hingga keluar.
"Lang! Laanngg!" panggil Alvia setengah berbisik. Ia menatap kembali pada ponselnya yang masih tersambung.
Terdengar suara berisik di seberang sana. Alvia mengernyit menatap ponselnya, terheran dengan apa yang dilakukan Gilang di sana. Sesaat, dia mendengar laki-laki itu berdeham sejenak.
"Vi ...?" panggilnya terkesan kaku nada bicaranya.
"Lo ngapain tadi itu?" tanya Alvia dengan bersungut-sungut. Gadis itu membaringkan tubuhnya, mencari posisi yang pas. Di seberang, ia mendengar Gilang cekikikan sebelum menjawab pertanyaannya.
"Heh! Gue tanya lo, Lang." Alvia tak bisa menahan nada bicaranya untuk biasa saja kali ini. Bisa-bisanya dia menyukai laki-laki modelan seperti Gilang.
"Hehe ... gue suka lo cemburu gitu. Jangan salah paham dulu lagi! Dengerin gue ... gue merasa lo jadi terbuka sama perasaan lo sendiri. Dengerin omongan lo urusan hati itu kayak sudah banget gitu. Jadi, dengerin lo ngomong gitu, gue seneng banget," jelas Gilang terburu-buru di awal menjelaskan. Tentu saja, dia tak mau ada kesalah pahaman lagi bagian kedua. Sungguh, itu tak lucu.
Alvia terdiam di ranjang, setelah mendengar ungkapan Gilang yang seratus persen benar. Ia tidak mengelak, memang begitulah keadaannya. "Kita baru aja jadian kemarin," sahut Alvia lirih merasa bersalah. Ia menghela napas sejenak yang tentunya terdengar oleh Gilang.
"Iya, tau, dan gue nggak bermaksud menyalahkan atau apapun. Cuman gue nggak pernah denger lo bilang kalimat sayang ke gue," beber Gilang nadanya melembut. "Nanti keluar, yuk! Ke mana gitu nanti. Nge-date," sambung Gilang.
Alvia tersenyum-senyum sendiri di kamar. Ia beralih menyalakan mode loud speaker dan mengecilkan volume suara agar suara Gilang tidak terlalu terdengar hingga ke depan.
"Nanti pamitnya ke orang tua kita gimana?" tanya Alvia beralih tengkurap dengan menyembunyikan setengah wajahnya dengan guling.
"Izin main gitu aja. Nanti lo berangkat dulu, habis itu gue nyusul. Lo tunggu di depan cluster perumahan."
"Enggak usah, deh. Teleponan gini aja," ujar Alvia setengah tertawa. Astaga! Ia tak tahu harus mendefinisikan seperti apa perasaannya saat ini. Rasanya ... seperti meluap-luap sampai dia bingung sendiri.
"Beneran nggak usah?" Gilang bertanya sekali lagi untuk memastikan lalu Alvia menjawab iya untuk melanjutkan sekadar telepon saja. Selama sepuluh menit Gilang mengobrol kecil dengan Alvia yang menjawab malu-malu serta tawa kecil.
"Video call mau nggak?" tawar Gilang saat itu, mengajak Alvia untuk beralih ke panggilan video. Awalnya, Alvia menolak tawaran Gilang untuk beralih ke panggilan video, tetapi beberapa detik selanjutnya, Alvia mengiyakan hal tersebut.
Buru-buru, Alvia beranjak melihat kondisi penampilannya. Rambutnya terlihat berantakan, baju tidur yang ia kenakan pun terbuka dan sangat tidak pantas untuk dilakukan video call bersama Gilang. Ia meninggalkan begitu saja ponselnya di ranjang, lalu menyisir rambut, memberi jepitan rambut di sisi kanan. Menghalau poni rambutnya yang nanti akan menutupi sebagian wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...