Trigger Warning: SMUT
"Apa-apaan, Damian? Kau mau aku menjauh darimu?"
"Blaire, bisakah kau hanya ... Dengar aku! Kau harus pergi, cari tempat yang aman karena target mereka adalah dirimu. Diatas ada sebuah kamar yang aman, tidak terlalu mencolok dan sepi. Tunggu disana, okey? Jika terjadi sesuatu padaku, kau akan jadi orang pertama yang kuhubungi." Damian meyakinkan Blaire bahwa rencananya tidak akan gagal.
Orang-orang telah berlarian, mencoba untuk menyelamatkan diri mereka dari penembakan yang terjadi. Sial! Kenapa juga harus di dalam istana? Umpat Damian saat menatap Blaire yang bergegas.
"Jaga dirimu, Damian. Jangan mati!'' teriak Blaire saat menaiki anak tangga. Blaire melambaikan tangannya pada Damian, membuat Damian ingin berteriak.
Sialnya adalah kenapa gadis itu yang harus diburu musuh? Dia terlalu baik jika harus dibiarkan mati begitu saja. Aku harus melindunginya!
Blaire menyusuri tempat yang ada, memastikan jika itu adalah tempat yang Damian maksud. Damian benar. Malah, Blaire yang akan menjadi beban jika dia bersikeras untuk ikut dengan Damian.
Di Sisi lain, seorang pria berambut pirang terlihat berdiri di ujung balkon, menatap rembulan yang bersinar. Cahaya menyapu wajahnya dengan dingin, membuat beberapa detail di wajahnya.
Aku yakin dia adalah orang yang kucari-cari. Aku tak ingin dia adalah orang itu, tapi aku tidak bisa bohong bahwa aku merasakan hal yang demikian. Aku tidak sebodoh itu untuk dilampaui. Semua berlarian di lantai dansa, kecuali gadis sialan yang kuajak bicara tadi. Mimik wajahnya netral, dia bahkan tidak takut saat suara tembakan meledak di sekitarnya. Sial memang! Lagian kenapa aku tidak menanyainya lebih awal? Ah brengsek! Aku malah tersihir dengan tampangnya yang begitu indah. Bajingan! Aku tak tahu harus berkata apa tentang fakta bahwa, aku tak ingin hal buruk terjadi padanya.
Suara langkah kaki terdengar. Jelas saja, Blaire mengenakan Heels tingginya dan berjalan dengan santai seakan dia adalah ahli dalam penggunaan hak tinggi.
Blaire menatap sekeliling, ruangan itu gelap, hanya ada cahaya bulan yang masuk lewat jendela dan pintu balkon yang terbuka. Blaire sadar, dia tak sendiri.
Dari semua ruangan yang Blaire telusuri, hanya ini yang tidak terkunci. Lebih menguntungkan karena ini adalah kamar tidur bernuansa kerajaan. Tapi sayang, seseorang sudah lebih dulu datang darimu. Blaire penasaran dengan siapa yang berdiri disana. Dia mencoba untuk mendekatinya, siapa tahu dia kenal.
Benar saja. Itu Rune, pria berambut pirang yang mengajaknya bicara saat di lantai dansa. Rune berdiri di balkon dengan wajah yang tenang, dia saat sempurna jika dilihat dari angle dimana Blaire berdiri.
Dia tiba-tiba menoleh saat menyadari kehadiran Blaire. "Siapa disana?" dia bertanya sambil menatap langsung ke arah mata Blaire.
"Hey, ini aku, Zora. Aku sudah memberitahumu tadi." Blaire mendekatinya. Mungkin tiga langkah, empat atau lima.
Pria itu menatapnya, "Apa benar, pria tadi adalah kekasihmu? Maaf aku lancang. Aku hanya ... Terlanjur tertarik padamu." Dia berjalan menghampiri Blaire, sementara Blaire sendiri merasakan panas tubuhnya menjalar keseluruh bagian tubuh.
Blaire hanya diam dan mematung, memberinya tatapan kosong.
"Kepalaku sakit, kau tahu. Aku tak punya pilihan."
Dengan lembut, dia memeluk Blaire, mendorongnya sedikit hingga Blaire tersudut di dinding ruangan itu. Dia bersandar di telinganya, menghembuskan nafasnya yang hangat membuat sekujur tubuhnya menegang.
"Suruh aku berhenti dan aku akan melakukannya." Dia mulai mencium lehernya mengeksplorasi selera Blaire. Itu terjadi secara tiba-tiba, bahkan Blaire sendiri tidak tahu harus bereaksi bagaimana dan melakukan apa. Blaire hanya berdiri disana, membiarkan rasa dari bibirnya meresap kedalam kulitnya.
Bjorn menyentuh lehernya dengan mulutnya, menemukan titik-titik yang bagus lalu membiarkan Blaire sedikit tersentak oleh ulahnya.
"R-Rune" Sialnya Blaire tidak memohon untuk berhenti. Dia hanya menyebut nama Rune, berharap pria itu tidak menghentikan aktivitas di atas kulitnya.
Blaire merasa bersalah, dia tak bisa menolak rasa itu. Dia tahu bahwa kesalahan ini akan merugikannya, dia tak bisa memikirkan hal lain selain rasa yang diberikan pria bernama Rune. Bahkan konsekuensi pun tersingkirkan.
Bjorn perlahan menurunkan tangannya ke punggung Blaire, membuat sekujur kulitnya tiba-tiba sensitif. Sentuhan itu sangat lembut, terasa manis, ingin rasanya untuk meminta lebih.
Caranya menyentuh Blaire, cara dia bergerak dengan lidahnya di sekitar terasa sempurna. Bjorn seolah memimpin permainan ini, membuat Blaire seperti sebuah boneka yang Bjorn kendalikan.
Bjorn memberi ciuman di seputar rahangnya, lalu perlahan tiba di bibirnya. Blaire bukanlah ahli dalam bidang itu, namun bermain bersama Rune yang tanpa dia sadari adalah Bjorn, rasanya menyenangkan.
Lidahnya menari mengikuti irama yang tiada duanya. Itu bukanlah ciuman pertama Blaire, tapi ciuman itu adalah ciuman pertama yang membuatnya merasakan sesuatu yang bergejolak.
Dia tiba-tiba menarik Blaire semakin dekat dengannya, cukup dekat sehingga tubuh mereka saling menempel erat. Kemudian dia memisahkan bibir sempurnanya dari milik Blaire dan mulai menggigit telinganya, memberikan beberapa ciuman di sana. Blaire bisa merasakan dengan hangat, perutnya menempel dengan perut Bjorn, ditekan dengan kasar seolah dia ingin menggoyangkan sesuatu yang ada di dalam sana.
"Zora?" dia memanggil nama Blaire dengan lembut di telinganya.
Blaire menoleh, dia tak pernah semabuk ini dalam berciuman. Ini benar-benar yang pertama kalinya.
"Kau bukan calon istrinya kan? Kau juga tidak akan menikah dengan pria itu. Zora, atau harus kubilang, Blaire-?"
Sialan!
Blaire mendengar nama aslinya keluar dari mulut pria itu dan langsung bereaksi. Blaire menekuk pahanya, cukup untuk menjerat Bjorn dengan kakinya. Blaire menerjang dan melemparkannya ke lantai, mengeluarkan senjata seperti yang dia lakukan dan tidak membiarkan Bjorn selesai menyebutkan nama lengkapnya.
Blaire mengangkangi pinggangnya, menjepitnya ke lantai dan menodongkan pistol ke kepalanya. Bjorn tidak terlihat kaget sama sekali. Dia malah melirik Blaire kebelakang lalu tersenyum.
Brengseknya lagi, dia masih terlihat sempurna!
Bagaimana dia bisa tetap tenang dalam situasi seperti ini?
"Kau tidak akan menarik pelatuknya," katanya.
"Siapa kau?" tanya Blaire, menjadi sedikit kesal.
"Rune. Sekarang beritahu aku, apakah namamu benar-benar Zora?"
Blaire tidak mengatakan apapun padanya dan memilih untuk tetap diam. Blaire juga tidak menarik pelatuknya. Blaire tidak kenal siapa dia dan menembak orang sembarangan adalah sebuah dosa yang besar. Kecuali dia diperintahkan.
"Kalau kau tidak mau memberitahu, setidaknya biarkan aku menyentuhmu sedikit lagi," dia menarik leher Blaire ke wajahnya, "dengan begitu, aku akan mengingatmu sepenuhnya." Dia mengambil tangannya yang lain dan mengusapkannya ke rahangnya seolah sedang memeriksanya. "Kau sangat cantik," bisiknya.
Panas, pipinya terasa panas. Wajahnya memerah dan itu tidak bisa disembunyikan. Bahkan dengan pistol yang masih di tangannya. Blaire adalah korban dari pesona Bjorn. Rasanya ingin meminta lebih, lebih lagi dan lagi. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak terasa dibuat- buat.
Blaire menarik kerah kemejanya, "Apa sebenarnya namamu, Rune?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴀʀʟɪɴɢ ᴋɪʟʟᴇʀ
Fantasia"𝑆𝑎𝑡𝑢 𝑑𝑖𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑘𝑖𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑎𝑡𝑖. 𝐸𝑛𝑡𝑎ℎ 𝑖𝑡𝑢 𝑎𝑘𝑢, 𝑎𝑡𝑎𝑢𝑝𝑢𝑛 𝑘𝑎𝑢, 𝐵𝑗𝑜𝑟𝑛." Blaire Svajone mendapat perintah untuk membunuh seorang assasin berbahaya dari organisasi Crimson Eclipse. Nama yang tertera pada no...