"Kayaknya kamu kenal Ra."
Usai membaca pesan dari Zidan, bukannya senang Lingga justru terlihat bingung. Selesai mengerjakan ibadah Subuh laki-laki berkaos cream itu tampak gelisah duduk di kursi kecil dekat jendela kamarnya.
Dia sudah berada di kamar kos-nya di Jakarta sekarang. Lingga memutuskan untuk langsung kembali ke Ibu Kota karena aktivitasnya yang tidak bisa ia sepelekan.
Waktu tidurnya sangatlah minim mengingat perjalanannya dari Bandung memakan waktu cukup lama. Ia sempat berhenti sebentar di warung kopi pinggir jalan untuk meminimalisir ngantuk.
Dan pagi-pagi buta seperti ini, ia kembali terusik dengan isi pesan Zidan tadi malam. Banyak hal yang ia pertimbangkan.
"Kalo gak gue ambil sama dengan gue menyia-nyiakan kesempatan yang belum tentu dateng dua kali. Tapi kalo gue ambil, gue ga yakin bisa ngatur waktu." Lingga Frustasi.
Di sisi lain ia juga sangat mencintai musik. Menggenjreng Gigi sambil mempertontonkan suaranya adalah hal yang sangat Lingga nikmati. Kecintaannya terhadap musik adalah hobi yang sudah ia geluti sejak kecil. Dan hal tersebut telah mendarah daging dalam hidupnya.
Di tengah kegentingan pikirannya, telepon genggam milik pemuda itu bergetar. Karena Lingga mengaturnya dalam modus vibrate.
"Halo Kak, ada apa?"
"Ngga, kayaknya Kakak mau resign dari pekerjaan Kakak yang pertama. Kakak dapet tawaran kerja di tempat lain yang jam kerjanya lebih ringan, dan gajinya sedikit lebih baik."
Suara Kak Rasya terdengar antusias di seberang sana.
Lingga mengangguk samar "Syukurlah," katanya.
"Karena Kakak ngambil resign akhir bulan nanti, uang pesangon yang Kakak terima juga akan cair di akhir bulan dan akan Kakak kirim setengahnya ke Nenek. Tapi ... untuk bulan depan Kakak minta tolong kamu dulu yang ngirimin Nenek bisa 'kan, Ngga?" Kalimat terakhirnya terdengar lirih.
Meski tak melihat Rasya yang sedang berbicara tapi Lingga tahu bahwa kakaknya di sana pasti sedang menggigit jari. Kebiasaan sang kakak ketika sedang gelisah.
"Kak, jangan sungkan. Aku juga punya kewajiban yang sama seperti Kakak. Mulai bulan depan dan bulan-bulan berikutnya, Lingga yang akan ngirim uang bulanan untuk Nenek," jelas Lingga yakin.
Karena semenjak Rasya bisa menghasilkan uang sendiri sembari menjalankan kuliahnya, perempuan itu tidak pernah lupa mengirim uang untuk sang nenek di kota asalnya. Lingga juga sering membantu meski tidak sebanyak Rasya.
"Jangan gitu, Kakak cuma minta bulan depan aja. Ingat kebutuhan kuliahmu, Ngga."
"Lingga udah kerja Kak, bukan sebagai penyanyi di cafe lagi. Kali ini pekerjaannya lebih menguntungkan dari berbagai sisi. Dominan work from home juga, jadi kuliah Lingga aman, pekerjaan juga berjalan lancar," ucapnya meyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingga
Teen FictionHiruk pikuk keramaian kota Jakarta yang menyebalkan bagi sebagian orang, dan mendebarkan kadang kala. Demikian dengan harga yang harus mereka bayar. Begitulah Lingga selama ini menjalani hari-harinya sebagai pelajar rantau yang memilih ibu kota seba...