TTM 36 - BEKU

92 5 3
                                    

"Vi ... Sayang, itu nggak seperti yang kamu dengerin. Please, dengerin penjelasan aku dulu." Lembut Gilang berkata, memohon Alvia untuk mau mendengarkan penjelasannya, hingga dia tak sadar telah mengganti bahasa bicaranya dengan Alvia dengan 'aku-kamu'.

Fatah, Liana, Laras, dan Mela mendelik mendengar Gilang memanggil Alvia dengan panggilan sayang. Mereka berempat kompak menempel pada daun pintu yang tertutup. Derrel dari jarak yang tidak terlalu jauh dari mereka hanya berdiri menatap datar pada mereka berempat.

"Mereka pacaran gitu?!" bisik Laras terkejut, menatap ketiga temannya bergantian. Entah bagaimana mereka bisa terdengar, entah suara Gilang yang kelewat keras atau memang telinga mereka yang sangat tajam dalam mendengarkan. Jadi, mereka berempat sangat terkejut dengan panggilan sayang dari Gilang. Mereka berempat dengan cepat lebih menempelkan telinga mereka, penasaran dengan obrolan mereka.

Derrel menghela napas, melihat temannya yang sangat penasaran lalu tatapnya berganti pada dua orang yang ada di dalam ruangan. Ia harap keduanya bisa menyelesaikan masalah mereka dengan baik. Walaupun, sampai saat ini dia masih belum tahu penyebab mereka bertengkar hebat sampai seperti ini.

Di dalam, Gilang menatap Alvia sedih. Ia mencoba menggenggam kedua tangan Alvia yang langsung ditepis oleh gadis itu.

"Vi ... gue mau jelasin semuanya ke lo. Itu nggak kayak yang lo dengerin itu. Beneran! Please ... dengerin penjelasan gue dulu," pinta Gilang, lirih sekali dia berkata pada Alvia.

"Apa! Lo mau ngejelasin apa lagi sama gue? Lo mau bilang kalau apa yang gue denger itu nggak bener? Gue denger semuanya dengan jelas, Lang! Gue denger jelas semuanya!" pekik Alvia memburu, detik selanjutnya ia meraung menangis hebat di ranjang. Gadis itu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya.

Gilang lantas memeluk erat Alvia, merasa ikut sakit mendengar Alvia menangis seperti ini. Laki-laki itu memeluk erat sesekali mencium puncak kepala Alvia sembari bergumam kata maaf.

Kondisi di luar pun ikut terdiam setelah mendengar teriakan dan tangis hebat Alvia hingga terdengar dari luar. Fatah menoleh pada Derrel yang menatap sendu ke dalam ruangan. Begitu pula dengan Liana, gadis itu memeluk Laras mendadak ikut menangis mendengar perkataan Alvia di dalam.

Alvia mendorong tubuh Gilang pelan, melepas pelukan laki-laki itu. "Sejak kapan lo mau manfaatin gue?" tanya Alvia nyaris berbisik.

"Gue nggak ada manfaatin lo, Alvia! NGGAK ADA!" ujar Gilang intonasi nadanya meninggi nyaris membentak Alvia.

Alvia menatap Gilang dengan tatapan berkaca-kaca. "Lo bentak gue, Lang?"

Gilang menjambak rambutnya merasa pusing melihat Alvia kembali menangis sekaligus merasa bersalah sudah berbicara dengan intonasi tinggi. Sungguh, ia kelepasan saat berbicara tadi. "Vi ... gue minta maaf," lirih Gilang mendekat pada Alvia dan gadis itu menepis kembali tangannya.

Gilang menghela napasnya kasar, ia meraup wajahnya dan berniat meninggalkan Alvia di ruang UKS sendiri. Ia ingin memberikan waktu pada gadis tersebut juga pada dirinya untuk menjernihkan pikiran.

Baru saja Gilang membuka pintu UKS, laki-laki itu dikejutkan dengan beberapa temannya yang nyaris terjatuh ke depan mengenai Gilang jika dia tak langsung memundurkan tubuh. Terkecuali, Fatah yang sudah tersungkur di depannya. Para gadis-teman-teman Alvia-gelagapan telah ketahuan menguping di balik pintu.

Fatah dengan cepat berdiri mematung di tengah pintu dan mengangkat kedua tangan ke atas membentuk seperti kerucut. "Jadi pohon."

Alvia yang mendengar pun mengangkat wajahnya dan menganga melihat tingkah Fatah di tengah pintu. Ia juga melihat teman-temannya yang turut ikut tercengang dengan kelakuan Fatah.

Gilang menatap datar mereka berempat lalu tatapnya menangkap sosok Derrel yang menunggu tidak jauh dari ruang UKS dengan berdiri tegap sembari menyilangkan kedua tangan di dada.

"Awas!" Singkat nan datar Gilang berkata membuat Fatah menyingkir dari tengah pintu, berjalan seperti kepiting. Liana, Laras, dan Mela ikut menyingkir, menepi, memberi jalan pada Gilang.

***

Jam pulang sudah kembali menyapa. Suasana sekolah benar-benar ramai membicarakan tentang ributnya Gilang dan Alvia. Farah yang menjadi penyebab mereka bertengkar hebat pun diam-diam tersenyum kecil. Setidaknya, ada satu hal yang membuat dia puas melihat Alvia merasa tersakiti.

Dia pun tidak peduli dengan perasaan Alvia. Terlepas dulu yang mereka menjadi teman baik sekaligus partner saat mengikuti segala lomba maupun olimpiade, ia benar-benar tak peduli.

"Far! Lo udah tau nggak, sih, kabar Gilang sama Via berantem? Lo tau nggak mereka berantem karena apa?" Pertanyaan dari Desti membuat dia tersentak dan menoleh cepat pada Desti.

Farah menggeleng. "Nggak, mereka berantem? Gue baru tau malahan," sahutnya sembari memasukkan barang-barangnya.

Desti merasa tak puas dengan jawaban Farah. "Sumpah! Gue penasaran banget sama bertengkarnya mereka! Gue lihat tadi kondisi Via berantakan banget," ujar Desti menggebu-gebu menceritakan.

"Gue nggak tau detailnya mereka bertengkar karena apa. Gue duluan, ya, Des," pamit Farah tersenyum, menenteng tasnya dan keluar menuju depan gerbang.

Berpindah ke kelas 12 IPS-2 yang terlihat sunyi. Mereka yang ada di dalam kelas terlihat menutup mulutnya rapat-rapat sekaligus bermain mata, melirik, menatap secara terang-terangan pada Alvia maupun Gilang.

Alvia sendiri di jam setelah istirahat kembali ke kelas, mulai mengikuti pembelajaran walaupun, kondisi serta wajahnya yang benar-benar tidak mendukung. Ia sendiri tahu jika sedari tadi dia menjadi bahan pembicaraan, menjadi pusat perhatian seluruh siswa. Alvia tak mempedulikan hal itu. Ia merasa lelah sekali hari ini.

Teman-teman mereka pun bahkan tak ada yang berani mengajak Alvia maupun Gilang untuk sekadar bercanda atau mengobrol. Mereka seakan bungkam hanya kedua mata mereka yang bermain memperhatikan Gilang dan Alvia.

"Udah selesai?" tanya Gilang menghampiri Alvia yang masih membereskan mejanya. Seluruh kelas seperti menahan napas kala Gilang bertanya dengan Alvia. Takut jika akan terjadi pertengkaran hebat jilid dua.

Alvia mengangguk, ia menenteng tasnya dengan lemas lalu berjalan terlebih dahulu. Tak ada kebisingan tentang mereka berdua pun tak ada keceriaan dan senyum di wajah Alvia. Semuanya tampak mendung hari ini.

Gilang segera menyusul Alvia, menggenggam satu tangan gadis itu erat-erat. Ia tak peduli dengan tingkahnya yang akan menambah gosip yang beredar.

"Jangan ngajak ngobrol gue dulu, ya. Please ...." Alvia berkata sembari berjalan lalu menoleh menatap Gilang sekilas. Ia kemudian mengalihkan tatap ke depan saat kedua matanya terasa panas.

Sebenarnya, Alvia tidak mau pulang dengan Gilang sebab dia ingin ... entah akan pulang bersama siapa. Setidaknya, dia tak bersinggungan dengan Gilang. Namun, jika dipikir kembali, kedua orang tuanya akan khawatir dan menanyakan alasan kenapa tidak pulang bersama Gilang.

Demi meminimalisir rasa curiga kedua orang tuanya, ia akan tetap pulang dengan Gilang. Selanjutnya, ia akan membawa motor sendiri. Mengecek kembali apakah keadaan motornya sudah bisa digunakan kembali atau tidak.

Gilang sudah mengeluarkan motornya dan melajukan benda bermesin tersebut saat Alvia sudah naik. Sepanjang perjalanan biasanya mereka terlibat candaan kecil. Kini, mereka sama-sama menutup mulut larut dalam keheningan.

Menurut kalian gimana nih sama hubungan GilangVia?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menurut kalian gimana nih sama hubungan GilangVia?

Tetangga Tapi Mesra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang