10

1K 168 5
                                    

Suasana dingin dan hawa mencekam mereka rasakan. Meneruskan pejalanan di tengah gelapnya malam dan dinginnya sehabis hujan, tanah semakin licin, membuat tenaga mereka semakin terkuras. Mereka sudah berhasil menaiki bukit dan kini proses turun ke bawah dengan jalan yang semakin berbahaya. Pencahayaan hanya ada pada senter yang mereka bawa masing-masing. Harus teliti dan berhati-hati dalam memilih jalan. Mereka berharap segera menemukan jalan yang kembali normal, setidaknya bisa mereka gunakan untuk kembali beristirahat. Sebab mereka sudah sangat lama terus berjalan.

Pertahanan mereka tak cukup sia-sia, karena tak lama kemudian mereka menemukan sebuah rumah kecil, tapi cukuplah untuk menampung mereka. Mereka sepakat untuk beristirahat sejenak di sana, karena malampun sudah semakin larut. Mereka perlu tidur. Di dalam rumah sangat gelap, tak ada pencahayaan. Namun, di dalam rumah itu berisis seperti perabotan rumah pada umunya. Apa mungkin dulu pernah ada yang tinggal di sini?

"Hanya ada satu kamar di sini. Biarlah Chika yang menempati, kita lelaki tidur lesehan saja, atau di atas kursi panjang itu. Dimana saja terserah kalian," kata Gian setelah memeriksa dalam rumah.

"Enak sekali hidupnya, apa-apa didahulukan," sahut Karan tak suka.

"Diamlah, kau lelaki atau perempuan? Banyak sekali protes!" Sahut Febrio.

"Kalau kau mau tidur di kamar, tidurlah. Aku di luar tak apa," jawab Chika. Dia lama-lama juga mulai muak dengan tingkah Karan.

"Tidak. Aku bukan perempuan yang lemah, jadi kuat jika tidur di luar," balas Karan. Menyebalkan memang, tadi dia yang nyinyir sekalinya Chika persilahkan untuk menggunakan kamar, malah tak mau.

"Sudahlah, mari istirahat. Aku sudah mengantuk," kata Oniel. Dia mulai mencari tempat yang nyaman untuk dia istirahat.

"Aku antar ke kamar," kata Zeeran perhatian pada Chika. Di dalam kamar ada ranjang yang sudah lapuk, tapi bagusnya ada kasur yang sudah gepeng di sana. "Gelap sekali," ucap Chika.

"Nyalakan senter ini selama kamu tidur. Aku dan yang lain ada di depan jika mencari," kata Zeeran.

"Kalian tak kan meninggalkanku sendiri di sini kan?" Tanya Chika. Dia takut Zeeran dan temannya itu akan meninggalkannya di sini sendiri. Apa lagi Karan seperti tak menyukai keberadaanya, jadi ditakutkannya dia mencuci otak para temannya untuk pergi meninggalkannya sendiri.

"Tidak, aku dan yang lain tak akan berbuat seperti itu. Sekarang istirahatlah. Ini selimut." Zeeran menyerahkan selimut yang sudah biasa Chika kenakan. "Kamu saja yang pakai, aku sudah ada ranjang. Sedangkan kamu, tak memakai apa-apa di luar, nanti sakit, di luar dingin," jawab Chika.

"Tak apa. Aku sudah biasa, jadi buat kamu saja," jawab Zeeran.

"Kamu kenapa baik banget ke aku? Padahal kita adalah orang asing yang baru saja kenal," tanya Chika. Jujur perlakuan Zeeran yang manis dan selalu menjaganya menumbuhkan rasa dari dalam diri Chika yang terus berbunga-bunga.

"A-aku merasa punya kewajiban untuk menjaga kamu setelah kita bertemu. Kamu perempuan sendiri di sini, aku tak mau kamu kenapa-kenapa. Karen di sini kamu juga hanya sendiri. Setiap aku melihatmu aku jadi mengingat ibuku di rumah. Jadi aku ingin menjaga kamu seperti aku menjaga ibuku," ungkap Zeeran.

"Hanya itu?"

"Y-ya, hanya itu. Ehem, istirahatlah. Aku juga harus beristirahat," kata Zeeran. Dia memilih untuk keluar kamar, membiarkan pintu kamar terbuka agar jika ada apa-apa dia bisa segera membantu Chika.

Malam terus berjalan. Suara burung dan serangga lainnya saling bersahutan menamani malam di luar sana. Tak semua orang yang ada di dalam rumah ini sepenuhnya tidur. Satu di antara lainnya masih terjaga menatap atap yang gelap. Pikirannya beradu merencanakan sesuatu. Matanya menggelap diselimuti nafsu. Entah kenapa tiba-tiba malam ini dia merasakan panas di hawa tubuhnya, minta dituntaskan. Selangkanganya sakit karena sedari tadi berdiri. Dia menggeram mencoba menghilangkan pikira  keji yang terlintas di otaknya.

HARTA KARUN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang