13

928 132 2
                                    

Amir terbangun dengan rasa sakit disekujur tubuhnya. Pandangannya mengabur, entah sudah berapa lama dia memejamkan mata. Saat pandangannya sudah kembali normal, dia melihat para temannya yang masih memejamkan mata dengan tangan dan kaki yang terikat. Ternyata kondisi Amir pun sama. Mereka berada di sebuah tempat dari kayu, yang dari dalam terlihat kayu-kayu itu bisa menyatu dengan ikatan lilitan akar.

Amir menggeser tubuhnya mendekati para temannya. "Kawan-kawan bangunlah. Gian, Evan, Oniel, bangun," panggil Amir. Dia menendang-nendang kecil tubuh Oniel yang berada dekat dengannya. "Niel, bangun Niel."

Cara itu berhasil, Oniel akhirnya tersadar. Oniel yang hendak menggerakkan tubuhnya, tapi tidak bisa. Karena tangan dan kaki yang terikat kuat. Saat melihat ke arah Amir dan teman-temannya, ternyata kondisi mereka sama. "Kenapa tangan dan kaki kita terikat?" tanya Oniel, sambil terus berusaha mengubah posisinya menjadi duduk. "Pasti ini ulah orang-orang itu Niel," kata Amir.

"Kita bangunkan yang lain Niel," kata Amir. Mereka berdua membangunkan kawan-kawannya. Satu-persatu kawannya itu akhirnya terbangun.

Sedangkan Zeeran merasakan sakit dilengannya bekas tusukan semalam. Bahkan darah itu sampai mengering. Zeeran sudah merasa sangat lemah. Dia sudah pasrah saja, jika hari ini akan mati. Yang lain merasa ngeri melihat darah yang sudah mengering dilengan Zeeran itu.

"Eh, dimana Karan?" Celetuk Delulu, saat tak melihat kehadiran temannya di sini. Yang lain ikut tersadar, Karan tak ada di sini bersama mereka. "Jangan-jangan dia sudag dibawa ke tempat lain oleh orang-orang itu?" Pikir Febrio.

"Kita harus mencari dia," kata Evan.

"Kita akan, tapi pertama kita harus lepas ikatan ini. Bagaimana caranya?" tanya Oniel.

"Begini. Amir kau geser mendekati Oniel, bukalah ikatannya. Karena posisi kalian membelakangi, aku yang akan mengarahkan," kata Gian. Ide yang cukup bagus. Mereka melakukan itu, setelah satu orang berhasil membuka ikatan, lalu membantu yang lain. Hingga semua sudah berhasil terlepas dari ikatan itu.

"Dimana kita akan mencari Karan?" tanya Zeeran sambil memegang lengannya yang terasa keram. "Mau tak mau kita nanti akan berkeliling mencari Karan," kata Gian.

"Sebelum itu, aku ada satu pertanyaan. Untuk selanjutnya, apa kita masih harus melanjutkan perjalanan untuk mendapatkan harta karun atau kita kembali saja? Kalau dari aku sendiri, aku memilih pulang. Ini sudah tak beres. Nyawa kita hampir saja tak selamat. Kita masih diberi kesempatan untuk hidup, jadi lebih baik kita pergi saja dari sini. Kita pulang. Keluarga kita menunggu di rumah, khawatir. Persetan dengan harta karun. Kita bisa kerja, meskipun hasilnya tak seberapa," ungkap Delulu dengan menggebu-gebu. Dia sudah muak! Dia ingin pulang!

"Aku juga setuju. Kita pulang saja," celetuk Zeeran.

"Aku pun," ucap Evan. Yang lain ternyata menyetujui. Mumpung mereka masih bisa hidup, mereka memilih untuk pulang saja. Dari pada nyawa mereka jadi taruhannya. "Baiklah, karna kita semua memilih pulang, maka mari kita pulang. Tapi sebelum itu, kita tak mungkin pulang tanpa Karan. Kita cari Karan dulu dan pergi dari tempat ini," putus Gian.

"Biarkanlah saja dia tertinggal di sini. Dia manusia menyebalkan, biarkan mendapatkan karma," celetuk Febrio.

"Jangan seperti itu. Kita semua teman. Meskipun, dia menyebalkan dan sudah melakukan hal yang tak baik, dia tetap teman kita. Kita ke sini bersama-sama, pulangpun juga harus bersama," sahut Delulu.

"Dan bisakah nanti kita mencari Chika?" lirih Zeeran. Dia teringat Chika yang kabur sendirian. Apa dia selamat? Bagaimanak kondisinya sekarang. "Apa kita bisa menemukannya?" Celetuk Evan. Merekakan tak ada yang tau dimana arah Chika berlari semalam.

"Kita usahakan saja nanti diperjalanan. Sekarang kita tak ada banyak waktu, lebih baik kita keluar sekarang dan mencari dimana Karan," kata Gian.

Mereka sudah sepakat. Pintu tempat mereka sekarang dapat dibuka dengan mudah. Melihat keadaan sekitar, ternyata gelap dan sangat sepi. Tas dan barang bawaan mereka sudah hilang tak tau kemana. Jadi sekarang mereka hanya bawa diri saja. Berharap nanti mereka dapat sesuatu yang bisa dibuat untuk pencahayaan. "Kita jalan perlahan, jangan buat kebisingan dan tetap waspada," bisik Gian. Lalu dia yang memimpin jalan.

Keadaan sangat sepi. Entah kemana orang-orang pedalaman itu sekarang. Namun, banyak rumah yang serupa mereka tempati tadi di sini. Apa mungkin orang-orang itu sedang beristirahat di dalamnya?

Mereka terus berjalan berkeliling mencari Karan. Hingga samar-samar Febrio melihat sebuah benda hitam yang tergantung di pohon. "Itu apa?" tanya Febrio dengan suara pelan. Mereka sontak melihat ke arah yang Febrio maksud. "Apa itu hantu?" takut Delulu.

"Coba kita lihat," ucap Gian.

"Bagaimana jika itu hantu?" tanya Delulu lagi.

"Tidak mungkin. Bahkan di sini orang pedalaman lebih menyeramkan ketimbang Hantu Lu," sahut Evan.

Mereka memilih mendekat. Mata mereka melebar melihat pemandangan di depan mereka yaitu, Karan yang digantung dengan kondisi terbalik. Kakinya diikat pada tali yang dililitkan pada batang kayu dan membiarakan tangan dan kepala yang menggantung di bawah. Kepala Karan setara dengan mereka yang sedang berdiri. "Apa dia masih hidup?" tanya Delulu.

"Kita harus turunkan dia. Pegang badannya, aku akan memotong tali, biar bisa terlepas," kata Evan, karena dia masih menyimpan sebuah pisau kecil. Beberapa memegang sebagian tubuh Karan dan yang lain berjaga menerima bagian kaki Karan yang siap terjatuh.

BRUK!

Posisi mereka ternyata salah. Yang berjaga menangkap kaki Karan berada di sebelah kiri, tapi ternyata kaki Karan jatuhnya ke arah kanan. Jadi alhasil Karan terjatuh. Namun, hal itu membuat Karan langsung tersadar. Dia meringis sakit. "Aduh sakit! Kenapa kalian tak menangkap tubuhku?" protes Karan.

"Diamlah! Jangan berisik, atau kami akan meninggalkan kau di sini," ancam Evan dengan suara tertahan. Tak menyia-nyiakan waktu lagi, mereka segera pergi dari sana. Dengan keadaan gelappun mereka tetap menerobos. Dan dengan harapan bisa segera sampai di pesisir pantai lalu pergi dari sini.

"Tunggu! Ah kepalaku pusing!" Keluh Karan. Tiba-tiba dia merasakan suhu tubuhnya yang memanas, kepalanya pusing, badannya lemas. "Jangan membuat acara lagu Ran," kata Evan.

"Tidak-tidak, aku serius. Kepalaku pusing. Badanku juga lemas," keluh Karan. Evan mencoba memegang kening Karan yang ternyata memang terasa sangat panas. "Dia tak berbohong. Karan sakit," kata Evan.

"Apa kau bisa melanjutkan perjalanan?" tanya Gian.

"Bisa, tapi kumohon istirahat dulu. Aku butuh mengumpulkan energi," jawab Karan.

"Baiklah, kita istirahat sejenak," putus Gian.

Di sisi lain, Zeeran termenung memikirkan dimana Chika. Dia tak mungkin pergi tanpa Chika. Dia sudah berjanji akan pergi bersama Chika, keluar dari sini bersama. Dia berharap bisa menemukan Chika sebelum keluar dari sini. Dan di sisi lain juga, Zeeran menatap tangannya yang terluka. Pikirannya berkelana, memikirkan nabis lengannya. Apa nanti tangannya akan dipotong karena tak segera mendapat pengobatan? Dia cukup takut jika itu terjadi.

Srek srek srek!

Mereka melihat ke arah sumber suara dengan was-was. Apa itu orang dalam yang berhasil menemukan mereka? Berharap jangan! Mereka lelah dan tak sanggup melawan jika itu terjadi.

Mata mereka melebar saat melihat seseorang keluar dari balik semak yang tinggi. Meskipun gelap, mereka masih bisa melihat samar siapa orang itu.































Kabur ada orang pedalaman. Kapan nih tahun barunya? Ntar malem ya?

Tahun baru ada yang mau bakar-bakar kenangan bersama dia? Wkwkwk

Dah gitu aja maap buat typo.

HARTA KARUN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang