- prolog -

2.1K 158 0
                                    

Sapuan kuas pada kanvas itu tidak berhenti. Terus mencurahkan segenap tenaga, menghabiskan waktu dengan menghiasi tatanan cat minyak.

Suasana disekitarnya benar-benar tak kontras, cahaya matahari yang lembut, berbanding balik dengan palet kecil yang mengotori lantai, cat  minyak berwarna-warni itu berserakan.

Mengabaikan kondisi ruangan, pemuda dengan netra shappire itu memfokuskan gerakan tangannya, yang kaku melukis. Berkali-kali bergetar.


Gerakan tangannya berhenti. Beberapa bulir keringat turun dari dahinya, membasahi wajahnya yang terengah-engah.


Akhirnya, titik terakhir dari karyanya. Ia menyunggingkan senyum getir. Mengusap wajahnya dengan lengan jaket.

Perasaannya yang kacau balau, tak menghalanginya menghasilkan sebuah mahakarya.







Taufik An-Najah.

Taufan.

Seorang pemuda dengan tatapan itu memandang lukisan tempaannya cukup lama. Ia menghela nafas, tanpa menghilangkan senyuman dari wajah paripurnanya.



Angin dari jendela yang terbuka meniup rambut Taufan yang disela-sela sebuah topi dino berwarna putih dan biru tua.

Pemuda itu sempat melayangkan pandangannya kebawah—dari jendela lantai 2—melihat sebuah pohon besar dibawah, daunnya berwarna jingga. Sangat indah.



Ia tertegun cukup lama. Melihat beberapa orang yang melewati tempat itu, beberapa anak kecil, pria kantoran, bahkan ibu-ibu karier.

Taufan tidak mengerti hakekatnya kenapa manusia butuh bekerja, tidak mengerti kenapa kita harus mematuhi aturan.

Tapi ia cukup menjalani harinya yang terus berulang tanpa memikirkan apapun.

Ia kurang menyukai ruangan dengan manusia-manusia yang serius dan tak menyenangkan, ia lebih menyukai melemparkan cat pada kanvas. tertawa bebas di dalam ruangannya sendiri.






Taufan, pemuda dengan netra shappire itu tenggelam dalam dunianya.

Dunia yang hanya sebatas miliknya saja..



Ini tentang Taufan, dan merelakan.

autism

autism | taufanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang