- taufan -

1K 108 35
                                    

“Melukis, caraku melupakan masa lalu, sekaligus mengabadikannya dalam satu waktu.”

—autism—

“Bagi anda, apa definisi merelakan itu?”



Pertanyaan apa itu?

Maksudku, kenapa ada yang menanyakannya padaku. Merelakan? Emm.. Itu topik susah yang berat. Kurasa. Bahkan aku sendiri tak memahaminya. Er.. Bagaimana aku harus menjawabnya?

Aku teringat perlahan. Menatap wajahnya yang sama-sama menghadap padaku.

“Kenapa bertanya..” lirihku.


Apa dia sedang senang? Senyumannya tak luntur sama sekali. Perlahan ia membuka matanya. Terlihat sayu.

“... Lukisan anda, menunjukkan kerelaan.”





Hujan.

Aku suka hujan, rintikannya selalu merdu, aromanya selalu harum, turunnya selalu membawa berkah dan rahmat. Dari Sang Pencipta. Untuk hamba-hamba-Nya.




Kanvasku tidak memiliki banyak varian, aku lebih suka menggambar malam, yang berarti dominan berwarna hitam. Yang menenangkan. Biru dongker. Warna kesukaanku. Yang serasi dengan topi favoritku.

Di tengah malam itu aku suka menggambar siluet dedaunan, cahaya bulan menelisik. Pantulan warna dari danau tampak mempesona.

Satu lagi yang kusukai. Aurora.



Langit yang tak bisa kulupakan.

Karena aku memiliki tujuh.

Merelakan.. Ya..




Apa aku selalu terlihat pasrah dengan kehidupan? Toh, semua ini hanyalah titipan. Aku tak meminta lebih. Aku tahu semua yang kumiliki tak lebih dari titipan. Tuhan bisa mengambilnya jika Dia berkehendak kan?

“Kak! Jadwal kunjungan! Duri bawa bunga yang banyaaaak! Kata dia,” suara Thorn terdengar di handphoneku. Memelankan akhir katanya. Seolah-olah Rian bisa dengar itu.


Jujur, aku kurang menyukai teknologi. Satu-satunya yang bisa kugunakan dari benda ini hanya chat dan telepon—dan kamera. Aku tak paham dengan Aze yang kecanduan hingga menabraki banyak hal saat memegang handphone ini.

Hello!? Hello? Kak Tau! Denger nggaaak!”

“Iya,” aku menjawab.

Ketemuan di gazebo yaaa!!





Seorang wanita dengan kerudung biru dan jaket bulu cokelat tersenyum menatapku—berhadapan di sebuah meja bundar, dengan teko berisi teh. “Anda, Taufik An-Najah?”

Aku hanya menatapnya. Tidak menjawab, ia meletakkan kipas yang dibawanya dibawah dagu. Menopangnya.

“Saya Kuputeri, seorang Jurnalis. Apa anda keberatan bila saya mengulas berita tentang anda?” yang kubalas gelengan kecil—sesuatu yang kulawan selama 4 tahun terakhir.

Ah, lagipula semua itu sudah berlalu. Aku memang tetap melukis, tapi bukan berarti aku mengunggahnya di publik. Cukup 2 lukisan yang berhasil disita oleh ibu-ibu tua bermahkota dari negara eropa dan perdana menteri.

Tidak ada yang boleh melihat lukisanku setelah itu. Hah..


Mengingatnya aku cukup muak, aku melukis bukan untuk harta. Mereka menawarkan berbagai tumpukan lembar dolar yang membuatku naik darah.

Melukis adalah darah dan nadiku. Melukis bagaikan oksigen untuk paru-paruku. Aku melakukannya dengan segenap perasaan. Begitu mencintai hobi ini. Begitu menekuninya.

autism | taufanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang