- ice -

961 121 37
                                    

Aku benci kenapa orang orang mengatakan luka akan menghilang seiring waktu, padahal waktu berhenti untuk orang yang terluka.”

—autism—




Aische, sabar, bawa bertenang,” Kak Beliung berseru meraih pundakku, aku melongo mantengin layar gadget. Aku tidak marah—eh marah sih iya, hanya saja, aku lebih ke terkejut.

“Ini kecelakaan, Aische, dia nggak bermaksud..” kak Beliung tau isi pikiranku.

Alisku berkedut. Aku ingin menempeleng pengirim pesan ini menggunakan gadget yang kupegang. Handphone kak Lin.


Soal membukanya? Oh ponselnya nggak dikunci, yang dikunci hanya galerinya. Sisanya free. Aku jadi kepo isi galerinya, dia masih demen pokemon nggak ya.

“Tapi kak, lu tau kan..”






“Iya, gue tau kembar gue, Lin trauma sejak Solay-Lay cintanya Lin itu hampir bundir. Tapi yang ngirim ini nggak tau Lin trauma, Ice, nggak murni kesalahannya.”

Aku mau mual dengan kak Beliung yang kalau alay alaynya kebangetan. Apaan nyebut Solar begitu? Dia tahu disebut-sebut cintanya kak Lin bisa muntah-muntah di RS sana.

Agak berpikir dia ini aneh nyerempet sinting tapi kayaknya memang beneran.

Trus kok bisa makhluk ini nggak eneg begitu padahal lagi nyemilin donat susu, selera makanku saja langsung orak-arik mendengarnya.

Hah..





Kak Lin, atau kupanggil saja Halilintar, kakak pertamaku, trauma, benar. Sejak pasca Solar nekat mau terjun bebas dari gedung univ fakultasnya, radar kecemasan kak Lin meningkat drastis, ia selalu memastikan benar-benar mental kami terjaga. Memastikan kami semua tidak dibawah tekanan. Ngerampok beban kami, biar dia bawa sendiri.

Tidak ada yang tahu—kak Lin terlalu gengsi untuk sweet-sweetan secara langsung, tapi dibalik itu semua, dia selalu secara absolut membuat kami baik-baik saja.

Lantas bagaimana aku tahu?





Telepati, anggap saja begitu, aku terlalu peka. Baiklah, ini bukan kelebihan, justru mengerikan. Hanya melihat sekilas, aku bisa tahu perbedaan sikap seseorang dari kebiasaannya. Jadi.. tidak ada satupun rahasia saudaraku yang lolos dariku. Kapanpun mereka melakukan gerak-gerik aneh, radarku sudah menangkapnya lebih dulu.

Haha, aku merasa hebat, sumpah. Seperti punya superpower kayak di kartun kartun yang biasa kutonton.




Aku kembali menghempaskan diri di kursi tunggu. Berdecak. “Tapi dia harus konfirmasi kenapa ngirim gini..”

“Ah, cinta anak muda, biasa, biar dinotis.” kak Beliung ketiwi-tiwi. “Yah, gue nggak tahu rasanya dikejer-kejer sampe segitunya.” ia menopangkan dagu, sikunya ia letakkan pada lutut. Memandang lurus, syal panjang—yang selalu melekat padanya itu turun hampir menyentuh ubin dingin rumah sakit.

“Gue bisa bantu kejar-kejar lu kak.” ucapku serius.

“Kagak mau, secara, lu ngejar gue kalau nggak malak ya nagih utang.” kak Beliung melanjutkan makan donat ketiganya.

Aku dan sohib kakakku itu terkekeh.

“Lu jangan labrak dia sambil ngamuk, Che.”

“Gue gak bisa janji kak”








autism | taufanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang